KONSEP AKAD DAN PRODUK BANK SYARIAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Farida Rohmah, S.Pd,
M.Sc
DisusunOleh :
Kelompok 3
1.
Luthfiana (1420210272)
2.
Silvia
Hana Navila (1420210275)
Kelas ESRH-5
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM/ES
TAHUN AKADEMIK 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Lembaga keuangan perbankan adalah salah
satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan didunia ekonpmi
dewasa ini. Karena fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi
menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai pengumpul dana, lembaga
perbankan ikut serta membantu pembangunan dengan menyalurkan dananya untuk
proyek-proyek pemerintah. Lembaga perbankan juga berperan penting dalam
perkembangan usaha kecil dan menengah dengan penyaluran dana bagi mereka.
Yang menjadi permasalahan adalah jika
usaha perbankan ini dihubungkan dengan ketentuan hukum islam dalam hal konsep
usaha dan teknis oprasional. Dimana syariat islam telah memberikan
aturan-aturan yang jelas dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk
didalamnya kegiatan ekonomi. Diantara aturan-aturan itu ialah dilarangnya
transaksi yang mengandung riba, penipuan, gharar. Dengan semangat itulah bank
syariah lahir, yaitu membuat sebuah lembaga keuangan yang menerapkan konsep
syariah didalamnya. Oleh karena itu sesuai namanya, bank syariah dalam
menjalankan ushanya tidak bisa dipisahkan dari konsep syariah yang mengatur
produk dan operasionalnya. Konsep syariah dijadikan pijakan dalam pengembangan
akad dan produk bank syariah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Konsep Akad?
2. Apa
Saja Produk Bank Syariah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Konsep Akad
1. Pengertian
Akad
Akad
(ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau kesepakatan atau
transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai
syariah. Dalam istilah fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi
tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti
wakaf, talak dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli,
sewa wakalah, dan gadai.
Secara
khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan
kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang
disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
a. Rukun
dalam akad ada tiga, yaitu:
1) Pelaku
akad
Pelaku akad haruslah
orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya (ahliyah) dan mempunyai otoritas syariah yang diberikan pada
seseorang untuk merealisasikan akad sebagai perwakilandari yang lain (wilayah).
2) Objek
akad
Objek akad harus ada
ketika terjadi akad, dan harus sesuatu yang jelas antara dua pelaku akad.
3) Shighah
atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul
Ijab qabul harus jelas
maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul.
b. Syarat
dalam akad ada empat, yaitu:
1) Syarat
berlakunya akad (in’iqad)
Syarat in’iqod ada yang umum dan khusus. Syarat
umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada
pelaku akad, objek akad dan sighah akad, akad bukan pada sesuatu yang
diharamkan, dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus
merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat
minimal dua sksi pada akad nikah.
2) Syarat
sahnya akad (shihah)
Syarat shihah, yaitu
syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad
perdagangan harus bersih dari cacat.
3) Syarat
terealisasinya akad (nafadz)
Syarat nafadz ada dua,
yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya) dan
wilayah.
4) Syarat
lazim
Syarat lazim, yaitu
bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.
2. Akad
yang digunakan Bank Syariah
Akad atau transaksi
yang digunakan bank syariah dalam oprasinya terutama diturunkan dari kegiatan
mencari keuntungan (tijarah) dan
sebagian dari kegiatan tolong menolong (tabrru’).
Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al
ba’i) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasildengan segala
variasinya. Cakupan akad yang akan dibahas meliputi akad perniagaan (al ba’i) yang umum digunakan untuk
produk bank syariah , ditambah akad-akad lain diluar perniagaan seperti qardul hasan (pinjaman kebajikan).
3. Keterkaitan
Akad dan Produk
Allah telah
menghalalkan perniagaan (Al-ba’i) dan mengharamkan riba (QS 2:275). Inilah
dasar utama operasi bank syariah yang meninggalkan penggunaan sistem bunga dan
menerapkan penggunaan sebagian akad-akad
perniagaan dalam produk-produk bank syariah, ditambah akad-akad lain diluar
perniagaan, seperti qardhul hasan (pinjaman kebajikan).
Perlu diingat bahwa
dalam melihat produk-produk bank syariah, selain bentuk atau nama produknya,
yang perlu diperhatikan adalah prinsip syariah yang digunakan oleh produk yang
bersangkutan dalam akadnya (perjanjian), dan bukan hanya nama produknya
sebagaimana produk-produk bank konvensional. Hal ini terkait dengan bagaimana
hubungan antar bank dan nasabah yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Selain itu, suatu produk bank syariah dapat menggunakan prinsip syariah
yang berbeda. Demikian juga, satu prinsip syariah dapat diterapkan pada
beberapa produk yang berbeda.
Akad atau transaksi
yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syariah dapat digolongkan kedalam
transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah)
dan transaksi tidak untuk mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi lagi
menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung kepastian (natural certainly contracts/NCC) yaitu kontrak dengan prinsip
nonbagi hasil (jual beli dan sewa), dan transaksi yang mengandung
ketidakpastian (natural uncertainty
contracts /NUC) yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil. Transaksi NCC
berlandaskan pada teori prtukaran, sedangkan NUC brlandaskan pada teori
percampuran. Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam pembiayaan
dan pendanaan, sedangkan transaksi tidak untuk mencari keuntungan tercakup
dalam pendanaan, jasa pelayanan atau (fee
based income), dan kegiatan sosial.[1]
B.
Produk
Bank Syariah
1.
Produk
pendanaan
Produk-produk bank syariah ditujukan untuk mobilisasi dan investasi
tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara adil sehingga keuntungan
yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal
penting karena islam secara tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut
penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial
ekonomi Islam. Dalam hal ini, bank syariah melakukannya tidak dengan prinsip
bunga, melainkan dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat islam,
terutama wadi’ah (titipan), qardh (pinjaman), mudharabah (bagi hasil) dan ijarah
(sewa).
|
Wadi’ah
|
Qardh
|
Mudharabah
|
Ijarah
|
Giro
|
V
|
V
|
|
|
Tabungan
|
V
|
V
|
V
|
|
Deposito/investasi
|
|
|
V
|
|
Obligasi /sukuk
|
|
|
V
|
V
|
Dari
tabel diatas, dapa disimpulkan bahwa produk-produk pendanaan bank syariah
mempunyai empat jenis yang berbeda yaitu:
1.
Giro,
dengan prinsip wadi’ah atau qardh
2.
Tabungan,
dengan prinsip wadi’ah, qardh atau mudharabah
3.
Deposito
atau investasi, dengan prinsip mudharabah
4.
Obligasi
atau sukuk, dengan prinsip mudharabah dan ijarah[2]
a.
Pendanaan
dengan prinsip wadi’ah
1)
Giro
wadi’ah
Al-wadi’ah dalam
segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan, atau meletakkan sesuatu pada
orang lain untuk siplihara atau dijaga. Dari aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan
sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip kehendaki.[3]
Wadi’ah adalah sebagai amanat dari orang yang dititipkan dan ia berkewajiban
mengembalikannya ketika pemiliknya meminta kembali.[4]
Giro wadi’ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan
dari nasabah dalam bentuk rekening giro (current
account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya. Karakteristik giro
wadi’ah ini mirip dengan giro pada bank konvensional, ketika kepada nasabah
penyipan diberi garansi untuk dapat emnaarik dananya sewaktu-waktu dengan
menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan, seperti cek, bilyet, giro,
kartu ATM, atau dengan menggunakan sarana perintah pembayaran lainnya atau
dengan cara pemindahbukuan tanpa biaya, bank boleh mengguanakn dana nasabah
yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka
pendek atau untuk memenuhi kebutuuhan likuiditas bank, selama dana tersebut
tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi
hasil karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan yang diperoleh bank dari
penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga, kerugian yang timbul
menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan untuk memberikan
insentif berupa bonus kepada nasabah, selama halini tidak disyaratkan
sebelumnya. Besarnya bonus juga tidak ditetapkan dimuka.
Beberapa fasilitas giro wadi’ah yang disediakan bank untuk nasabah
yaitu buku cek, bilyet giro, kartu ATM, fasilitas pembayaran, traveller’s cheques, wesel bank, wesel
penukaran, kliring dan lainnya.
Dalam
aplikasinya, ada dua kasus dalam giro wadi’ah:
a)
Giro
wadi’ah memberikan bonus karena bank menggunakan dana simpanan giro ini untuk
tujuan produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga bank dapat memberikan
bonus kepada nasabah deposan.
b)
Giro
wadi’ah tidak memberi bonus karena bank
hanya menggunakan dana simpanan giro untuk menyeimbangkan kebutuhan likuiditas
bank dan untuk transaksi jangka pendek atas tanggung jawab bank yang tidak
menghasilkan keuntungan riil.
Simpanan giro dapat menggunakan prinsip wadi’ah yad amanah karena pada dasarnya giro dapat dianggap sebagai
suatu kepercayaan dari nasabah kepada bank untuk menjaga dan mengamankan asset
atau dananya.
Simpanan giro juga dapat menggunakan prinsip qardh ketika
bank dianggap sebagai penerima pinjaman tanpa bunga dari nasabah deposan.[5]
Ciri-ciri rekening giro wadi’ah:
a.
Bagi
pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasikan rekeningnya
b.
Untuk
membuka rekening diperlukan suart
referensi nasabah lain atau pejabat bank dan menyetor sebuah jumlah dana
minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-masing bank) sebagai setoran
awal.
c.
Calon
pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam bank Indonesia.
d.
Penarikan
dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi lainnya
e.
Tipe
rekening : rekening perorangan, rekening pemilik tunggal, rekening bersaa,
rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, rekening
perusahaan yang berbadan hukum , rekening kemitraan dan rekening titipan.
f.
Servis
lainnya berupa cek istimewa, instruksi siaga (standing instruction),
transfer dana otomatis, kepada pemegang rekening akan diberikan salinan
rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan
serta dikirimkan kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode
tertentu.[6]
2)
Tabungan
wadi’ah
Yaitu produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah
dalam bentuk rekening tabungan (savings
account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya, seperti giro wadi’ah,
tetapi tidak sefleksibel giro wadi’ah, karena nasabah tidak dapat menarik
dananya dengan cek.
Biasanya bank dapat menggunakan dana ini lebih leluasa dibandingkan
dana dari giro wadi’ah, karena sifat penarikannya yang tidak sefleksibel
giro wadi’ah sehingga bank memilii kesempatan lebih besar untuk
mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, bonus yang diberikan oleh bank kepada
nasabah tabungan wadi’ah biasanya lebih besar daripada bonus yang diberikan
oleh bank kepada nasabah giro wadi’ah. Besarnya bonus juga tidak
diisyaratkan dan tidak ditetapkan dimuka.
Selain tidak adanya fasilitas buku cek dan bilyet giro, fasilitas
bagi nasabah tabungan wadi’ah yang diberikan oleh bank mirip dengan
fasilitas oleh bank mirip dengan fasilitas bagi nasabah giro wadi’ah.[7]
b.
Pendanaan
dengan prinsip qardh
Al-qard adalah
pemakaian harta kepada orang lain yang dapat ditagih kembali atau dengan kata
lain meminjamkan tanpa mengaharapkan imbalan. Dalam literature fiqh klasik, qardh
dikategorikan dalam akad tahwawwu atau saling membantu dan bukan
transaksi komersial.[8]
Dalam pengertian lain, qard adalah hutang yang melibatkan barang
atau komoditi yang boleh dianggarkan dan diganti mengikut timbangan, sukatan
atau bilangan (Fungible Commodities). Si pengutang bertanggung jawab
untuk memulangkan objek yang sama atau serupa dengan apa yang diterimanya tanpa
ada tambahan terhadap harta yang dipinjamkan.[9]
Akad qardh hanya
dimaksudkan untuk membantu dan memberikan kemudahan kepada orang yang dalah
kesusahan.[10]
Simpanan giro dan tabungan juga bisa menggunakan prinsip qardh,
ketika bank dianggap sebagai penerima pinjaman tanpa bunga dari nasabah deposan
dari pemilik modal. Bank dapat memanfaatkan dana pinjaman dari nasabah deposan
untuk kegiatan produktif dalam mencari keuntungan. Nasabah deposan dijamin akan
memperoleh kembali dananya secara penuh, sewaktu-waktu nasabah ingin menarik
dananya.[11]
c.
Pendanaan
dengan prinsip mudharabah
1)
Tabungan
mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adhdharbu fil ardhi, yaitu
bepergian untuk urusan dagang. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha
usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertangggung
jawab atas kerugian tersebut.[12]
Jenis-jenis Mudharabah
a)
Mudharabah
muthlaqoh
Yaitu
bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana usaha yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b)
Mudharabah
muqayyadah
Yaitu
pelaksana modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.[13]
Ada sedikit perbedaan antara wadi’ah yang digunakan untuk rekening
tabungan dan wadi’ah yang digunakan untuk rekening giro. Dalam wadi’ah
untuk rekening tabungan, bank dapat memberikan bonus kepada nasabah dari
keuntungan yang diperoleh bank karena bank lebih leluasa untuk menggunaka dana
ini untuk tujuan mendapatkan keuntungan. Qardh merupakan pinjaman
kebijakan. Dalam hal ini, bank seperti mendapat pinjaman tanpa bunga dari
deposan. Bank dapat menggunakan dana ini untuk tujuan apa saja, dan dari
keuntungan yang diperoleh bank dapat memberikan bagian keuntungan kepada
deposan berupa uang atau non uang. Hal ini jarang terlihat dalam praktik,
tetapi dipraktikkan di iran.
Selain itu, bank juga dapat mengintegrasikan rekening tabungan
dengan rekening investasi denagn prinsip mudharabah dengan bagi hasil
yang disepakati bersama. Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan
bagi kerugian ketika nasabah sebagai pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan uangnya kepada bank sebagai pengusaha (mudharib)
untuk diuashakan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian ditanggung
oleh pemilik dana atau nasabah. Dalam praktiknya, tabungan wadi’ah dan
mudharabah yang biasa digunakan secara luas oleh bank syariah.
No
|
|
Tabungan Mudharabh
|
Tabungan wad’ah
|
1
|
Sifat dana
|
Investasi
|
Titipan
|
2
|
Penarikan
|
Hanya dapat dilakukan pada periode tertentu
|
Dapat dilakukan setiap saat
|
3
|
Insentif
|
Bagi hasil
|
Bonus (jika ada)
|
4
|
Pengembalian modal
|
Tidak dijamin dikembalikan 100%
|
Dijamin dikembalikan 100%
|
Gambaran diatas adalah perbandingan antara tabugan wadi’ah dan
mudharabah.
2)
Deposito
atau investasi umum (tidak terikat)
Bank syariah menerima simpanan deposito berjangka (pada umumnya
untuk satu bulan keatas) ke dalam rekening investasi umum (general investmen account) dengan prinsip mudharabah al-muthlaqah.
Investasi umum ini sering disebut juga sebagai investasi tidak terikat. Nasabah
rekening investasi lebih bertujuan untuk mencari keuntungan dari pada untuk
mengamankan uangnya. Dalam mudharabah al-muthlaqah, bank sebagai mudharib
mempunyai kebebasan mutlak dalam pengelolaan investasinya. Jangka waktu
investasi dan bagi hasil disepakati bersama. Apabila bank menghasilkan
keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan awal. Apabila bank mengalami
kerugian, bukan karena kelalaian bank, kerugian ditanggung oleh nasabah deposan
sebagai shahibul maal. Deposan dapat menarik dananya denagn
pemberitahuan terlebih dahulu.
3)
Deposito
atau investasi khusus (terikat)
Selain rekening investasi umum, bank syariah juga menawarkan
rekening investasi khusus (special
investmen account) kepada nasabah yang ingin menginvestasikan dananya
langsung dalam proyek yang disukainya yang dilaksanakan oleh bank dengan
prinsip mudharabah al-muqayyadah. Investasi khusus ini sering disebut
juga sebagai investasi terikat. Rekening investasi khusus ini biasanya
ditujukan kepada para nasabah atau investor besar dan institusi. Dalam mudharabah
al-muqayyadah bank menginvestasikan dana nasabah kedalam proyek tertentu
yang diinginkan nasabah. Jangka waktu investasi dan bagi hasil disepakati
bersama dan ahsilnya langsung berkaitan dengan keberhasilan proyek investasi
yang dipilih.
Investasi khusus ini ada dua jenis,
yaitu investasi khusus “executing”
(on balancesheet) dan investasi
khusus “channeling” (off balancesheet) dengan karakteristik
masing-masing sebagai berikut:
a)
Investasi
khusus (on balancesheet) “Executing”
Pemodal
menetapkan syarat kedua pihak sepakat dengan syarat usaha keuntungan
Bank
menerbitkan buku investasi khusus
Bank
memisahkan dana
b)
investasi
khusus (off balancesheet) “channeling”
Penyaluran
langsung ke nasabah
Bank menerima komisi
Bank
menerbitkan bukti investasi khusus
Bank
mencatat direkening administrasi
4)
Sukuk
al-mudharabah
Akad mudharabah juga dapat dimanfaatkan oleh bank syariah
untuk penghimpunan dana dengan menerbitkan sukuk yang merupakan obligasi
syariah. Dengan obligasi syariah, bank mendapatkan alternative sumber dana
berjangka panjang (lima tahun atau lebih) sehingga dapat digunakan untuk
pembiayaan-pembiayaan berjangka panjang.[14]
d.
Pendanaan
dengan prinsip ijarah
1)
Sukuk
al-ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.[15]
Akad ijarah dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk penghimpunan
dana dengan menerbitkan sukuk yang merupakan obligasi syariah. Dengan obligasi
syariah, bank mendapatkan alternatif sumber dana berjangka panjang (lima tahun
atau lebih) sehingga dapat digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan berjangka
panjang. Obligasi syariah ini dapat menggunakan beberapa prinsip yang
dibolehkan syariah, sepertimenggunakan prinsip bagi hasil (sukuk al-mudharabah dan sukuk
al-musyarakah), menggunakan prinsip jual beli (sukuk al-murabahah,, sukuk as-salam dan sukuk al-istishna), menggunakan prinsip sewa (sukuk al-ijarah) dan sebagainya.
Penerbitan
melihat empat pihak yaitu:
a)
Pemilik
asset, pihak yang sedang mencari pendanaan.
b)
Penyewa,
pihak yang menyewa asset.
c)
Investor,
pihak yang membeli sukuk al-ijarah.
d)
Special purpose vechile atau
SPV, institusi yang khusus didirikan dalam rangka penerbitan sukuk.[16]
2.
Produk
pembiayaan
Pembiyaan
dalam perbankan syariah menurut al-Harran adalah:
a.
Return bearing financing,
yaitu bentuk pembiayaan yang secara komersial menguntungkan, ketika pemilik
modal mau menanggung risiko kerugian dan nasabah juga memberikan keuntungan.
b.
Return free financing,
yaitu bentuk pembiayaan yang tidak untuk mencari keuntungan yang lebih
ditujukan kepada orang yang membutuhkan sehingga tidak ada keuntungan yang
dapat diberikan.
c.
Charity financing,
yaitu bentuk pembiayaan yang memang diberikan kepada orang miskin dan
membutuhkan, sehingga tidak ada klaim terhadap poko dan keuntungan.
Ada
tiga produk pembiayaan utama yang mendominasi portofolio pembiayaan bank
syariah adalah
a.
Pembiayaan
modal kerja
Kebutuhan
pembiayaan modal kerja dapat dipenuhi dengan berbagi cara yaitu bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) dan jual beli (murabahah
dan salam).
1)
Bagi
hasil
Kebutuhan modal kerja usaha yang beragam, seperti untuk membayar
tenaga kerja, rekening listrik dan air dan sebagainya dapat dipenuhi dengan
pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah atau musyarakah. Sebagai
contoh, usaha bengkel dan lain-lain.
2)
Jual
beli
Kebutuhan modal kerja usaha perdagangan untuk membiayai barang
dagangan dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli dengan akad
murabahah. Dengan berjual beli, kebutuhan modal pedagang terpenuhi dengan harga
tetap, sementara bank syariah mendapat keuntungan margin tetap dengan
meminimalkan risiko.
Kebutuhan modal kerja usaha kerajinan dan produsen kecil dapat juga
dipenuhi dengan akad salam. Dalam hal ini, bank syariah menyuplai mereka denagn
input produksi sebagai modal salam yang ditukar dengan komoditas mereka untuk
dipasarkan kembali.
b. Pembiayaan
investasi
Kebutuhan
pembiayaan investasi dapat dipenuhi dengan berbagai cara, antara lain:
1) Bagi
Hasil
Kebutuhan
investasi secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil
dengan akad mudharabah atau musyarakah. Sebagai contoh, pembuatan
pabrik baru, perluasan pabrik, usaha baru, perluasan usaha, dan sebagainya.
Dengan
cara ini bank syariah dan pengusaha berbagi risiko usaha yang saling
menguntungkan dan adil. Agar bank syariah dapat berperanaktif dalam kegiatan
usaha dan mengurangi kemungkinan risiko, seperti moral hazard, maka bank memilih untuk menggunakan akad musyarakah.
2) Jual
Beli
Kebutuhan
investasi sebagiannya juga dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli
dengan akad murabahah. Sebagai
contoh, pembelian mesin, pembelian kendaraan untuk usaha, pembelian tempat
usaha, dan sebagainya. Dengan cara ini bank syariah mendapat keuntungan margin
jual beli dengan risiko yang minimal. Sememtara itu, pengusaha mendapatkan
kebutuhan investasinya dengan perkiraan biaya yang tetap dan mempermudah perencanaan.
Kebutuhan
investasi yang memerlukan waktu untuk membangun juga dapat dipenuhi dengan akad istishna, misalnya untuk industri
berteknologi tinggi, seperti industri pesawat terbang, industri pembuatan
lokomotif, dan kapal, selain berbagai tipe mesin yang dibuat oleh perusahaan
atau bengkel besar. Selain itu, akad istishna
juga dapat diaplikasikan dalam industri konstruksi, misalnya, gedung
apartemen, rumah sakit, sekolah, universitas, dan sebagainya.
3) Sewa
Kebutuhan
asset investasi yang biayanya sangat tinggi dan memerlukan waktu lama untuk
memproduksinya pada umumnya tidak dilakukan dengan cara berbagi hasil atau
kepemilikan karena risikonya terlalu tinggi atau kebutuhan modalnya tidak
terjangkau. Kebutuhan investasi seperti itu dapat dipenuhi dengan pembiayaan
bepola sewa dengan akad ijarah atau
ijarah muntahiya bittamlik. Sebagai contoh, pembiayaan pesawat terbang,
kapal dan sejenisnya. Selain itu pembiayaan ijarah dapat juga digunakan untuk
pembiayaan peralatan industri, mesin-mesin pertanian, dan alat-alat
transportasi.
Dengan
cara ini bank syariah dapat mengambil manfaat dengan tetap menguasai kepemilikan
asset dan pada waktu yang sama menerima pendapatan dari sewa. Penyewa juga
mengambil manfaat dari skim ini dengan terpenuhinya kebutuhan investasi yang
mendesak dan mencapai tujuan dalam waktu yang wajar tanpa harus mengeluarkan
biaya modal yang besar.
c. Pembiayaan
aneka barang, perumahan dan properti
Kebutuhan pembiayaan
aneka barang dapat dipenuhi dengan berbagai cara, antara lain:
1) Bagi
Hasil
Kebutuhan
barang konsumsi, perumahan, atau properti dapat dipenuhi dengan pembiayaan
berpola bagi hasil dengan akad musyarakah
mutanaqisah, misalnya, pembelian mobil, sepeda motor, rumah, apartemen, dan
sebagainya.
Dengan
cara ini bank syariah dan nasabah bermitra untuk membeli asset yang diinginkan
nasabah. Bagian sewa dari nasabah digunakan sebagai cicilan pembelian porsi
asetyang dimiliki oleh bank syariah, sehingga pada periode waktu tertentu (saat
jatuh tempo), asset tersebut sepenuhnya telah dimiliki oleh nasabah.
2) Jual
beli
Kebutuhan
barang konsumsi, perumahan atau properti apa saja secara umum dapat dipenuhi
dengan pembiayaan berpola jual beli dengan akad murabahah.
Dengan akad ini bank syariah memenuhi kebutuhan nasabah dengan membelikan asset
yang dibutuhkan nasabah dari supplierkemudian
menjual kembali kepada nasabah dengan mengambil margin keuntungan yang
diinginkan. Selain mendapatkan keuntungan margin, bank syariah juga hanya
menanggung risiko yang minimal. Sementara itu, nasabah mendapatkan kebutuhan
asetnya dengan harga yang tetap.
3) Sewa
Kebutuhan
barang konsumsi, perumahan, atau properti dapat juga dipenuhi dengan pembiayaan
berpola sewa dengan akad ijarah muntahiya
bittamlik.
Dengan
akad ini bank syariah membeli asset yang dibutuhkan nasabah kemudian
menyewakannya kepada nasabah dengan perjanjian pengalihan kepemilikan diakhir
periode dengan harga yang disepakati diawal akad. Dengan cara ini bank syariah
tetap menguasai kepemilikan aset selama periode akad dan pada waktu yang sama
menerima pendapatan dari sewa. Sementara itu, nasabah terpenuhi kebutuhannya
dengan biaya yang dapat diperkirakan sebelumnya.
Dari
ketiga produk pembiayaan utama tersebut diatas, akad berpola bagi hasil dan
jual beli selalu dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang
bervariasi. Selain itu, akad murabahah
merupakan akad yang paling luas penggunaannya karena mudah diterapkan dan
berisiko kecil, sehingga tidak mengherankan jika porsi terbesar portofolio bank
syariah menggunakan akad murabahah.
Akad
bagi hasil merupakan akad yang dipercaya lebih mencerminkan esensi bank syariah
untuk mendorong kelancaran usaha produktif di sektor riil. Oleh karena itu,
akad bagi hasil seharusnya menjadi akad utama produk pembiayaan bank syariah,
dan bank syariah selayaknya berkembang menuju memperbesar porsi pembiayaan bagi
hasil dalam portofolionya.
3. Produk
Jasa Perbankan
Produk-produk jasa perbankan dengan pola lainnya pada umumnya
menggunakan akad-akad tabarru’ yang
dimaksudkan tidak untuk mencari keuntungan, tetapi dimaksudkan sebagai
fasilitas pelayanan kepda nasabah dalam melakukan transaksi perbankan. Oleh
karena itu, bank sebagai penyedia jasa hanya membebani biaya administrasi .
jasa perbankan golongan ini bukan termasuk akad tabarru’ adalah akad sharf
yang merupakan akad pertukaran uang dengan uang dan ujr yang merupakan bagian dari ijarah (sewa) yang dimaksudkan untuk
mendapatkan upah (ujroh) atau fee.[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan)
atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai
komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah fiqih,
secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan,
baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak dan sumpah, maupun yang
muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa wakalah, dan gadai. Secara
khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau
pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam
lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
Produk bank syariah ada tiga yaitu
produk pendanaan, produk pembiayaan dan produk jasa perbankan.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan
dan sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau
kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga
bermanfaat dan terimakasih. Amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2012.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi
dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, 2004.
Muhammad Syafi’I
Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2013.
Syukri Aska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia :
dalam Perspektif Fikih Islam, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2012.
Ahmad
dahlan, Aplikasi Pembiayaan di Bank Syariah, Al-Manahij: Jurnal Kajian
Hukum Islam, V ol. 1 No. 2, Juli – Desember 2007
[3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi
dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, 2004, hlm. 57.
[4] Syukri Aska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia :
dalam Perspektif Fikih Islam, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2012, hlm.
192.
[5]
Ascarya, Op.,
Cit, hlm. 113-115.
[6] Ahmad dahlan, Aplikasi
Pembiayaan di Bank Syariah, Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, V ol. 1
No. 2, Juli – Desember 2007, hlm. 323-324.
[8] Heri Sudarsono, Op., Cit, hlm.
74.
[9] Syukri Iska, Op., Cit, hlm.
177.
[10] Ibid., hlm.179.
[12] Heri Sudarsono, Op., Cit, hlm.
69.
[13]
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik,
Gema Insani, Jakarta, 2013, hlm. 97.
[16]Ascarya,
Op., Cit, hlm. 119-122.
0 Response to "MAKALAH KONSEP AKAD DAN PRODUK BANK SYARIAH"
Posting Komentar