PEGADAIAN
SYARIAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Dosen Pengampu : Farida Rohmah,
S. Pd., M.Sc.
Disusun Oleh:
(Kelompok 12)
ESRH-5
1.
Siti Maemunah (1420210285)
2.
Istiani (1420210304)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM/ES
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sampai saat ini masih ada kesan
dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke pegadaian untuk menjamin sejumlah
uang dengan cara menggadaikan barang, adalah aib dan seolah kehidupan orang
tersebut sudah sangat menderita. Karena itu banyak diantara masyarakat yang
malu menggunakan fasilitas penggadaian. Lain halnya jika kita pergi ke sebuah
Bank, di sana akan terlihat lebih prestisius, walaupun dalam prosesnya
memerlukan waktu yang relatif lebih lama dengan persyaratan yang cukup rumit.
Bersamaan dengan berdirinya dan
berkembangnya bank, BMT, dan asuransi yang berdasarkan prinsip syariah di
Indonesia, maka hal yang mengilhami dibentuknya pegadaian syariah atau rahn
lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh Bank Syariah, dimana Bank
menawarkan kepada masyarakat dalam bentuk penjaminan barang guna mendapatkan
pembiayaan.
Oleh karena itu, dibentuklah lembaga
keuangan yang mandiri yang berdasarkan prinsip syariah. Adapun dalam makalah
ini akan dijelaskan secara lengkap mengenai pegadaian syariah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
pegadaian syariah?
2.
Bagaimana
lahirnya pegadaian di Indonesia?
3.
Bagaimana dasar
hukum pegadaian syariah?
4.
Bagaimana rukun
dan syarat pegadaian syariah?
5.
Apa tujuan, manfaat
dan resiko pegadaian?
6.
Apa saja
hal-hal yang berkaitan dengan gadai?
7.
Bagaimana
aplikasi dalam perbankan?
8.
Apa saja jasa
dan produk dalam pegadaian syariah?
9.
Bagaimana
operasional dalam pegadaian syariah?
10.
Apa perbedaan
pegadaian syariah dan pegadaian konvensional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pegadaian Syariah
Dalam istilah
bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al-hasbu.
Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-hasbu
berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan
sebagai pembayaran dari barang tersebut. Sedangkan menurut Sabiq, rahn
adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.
Adapun
pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab al-Mughni
adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuh
dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang
berpiutang.[1]
Ibnu Sayyidah
mengartikan dengan sesuatu yang disimpan seseorang sebagai pengganti sesuatu
yang diambilnya. Adapun al-Harali mengartikannya dengan suatu kepercayaan
dengan cara memberikan sesuatu yang sepadan dengan jalan tertentu.
Sedangkan rahn
menurut istilah sebagaimana dikemukakan para ulama adalah sebagai berikut:
a.
Hanafiyah:
“Menjadikan sesuatu tertahan karena ada kewajiban yang harus dipenuhinya,
seperti utang.”
b.
Malikiyah:
“Sesuatu yang dikuasa sebagai kepercayaan karena adanya utang.”
c.
Syafi’iyah dan
Hanabilah: “Menjadikan barang sebagai jaminan (kepercayaan) atas utang yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang pada waktunya tidak
bisa membayar utangnya.”
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukuk
Ekonomi Syariah Pasal 20 mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Pengusaan
barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”
Dari definisi
yang dikemukakan para ulama diatas tentang rahn, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dinamakan gadai adalah akad sebuah kepercayaan dengan
cara menjadikan sesuatu sebagai barang jaminan atas utang yang harus
dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya tidak terbayar, maka barang yang
dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar utangnya.[2]
Dalam jurnal
Ahmad Supriyadi mengatakan bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara
satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata seepakat untuk
mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan
barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat
penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman
uang tertentu sebesar nilai taksir.[3]
Pengertian
gadai yang ada dalam syariah agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada
dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum positif seperti yang
tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau
oleh seseorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).[4]
Jika
memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi
dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang
adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan
uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu
kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh
muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan
imbalan.[5]
B.
Lahirnya
Pegadaian di Indonesia
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan
menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa
PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik
riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan
sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak
berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember
2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun
harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan
itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya
disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah
awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem
administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang
diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri
dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai
Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain
Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural
terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama
kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS)
Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian
ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang
sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang
Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.[6]
C.
Dasar Hukum
Pegadaian Syariah
1.
Al-Quran
* bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ 3
Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy‰»yg¤±9$# 4
`tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).” (QS. Al-Baqarah 2:283)
2.
Hadis
a)
Diriwayatkan
dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi untuk
masa yang akan datang, lalu beliau menggadaikan beju besi beliau (sebagai
jaminan).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b)
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Saw. meninggal dan baju zirahnya
tergadaikan pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ jewawut untuk
keluarganya.” (HR. Al-Nasai)
c)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “(Hewan) boleh
dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh
diminum jika dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai
dan meminum susunya wajib membayar.”
(HR. Al-Bukhari)
3.
Ijma’
Para
ulama telah sepakat bahwa telah disyariatkan gadai ini karena telah
dipraktikkannya sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang dan tidak ada
seorang pun yang menentangnya.[7]
D.
Rukun dan
Syarat Pegadaian Syariah
1.
Rukun Gadai
a.
Shigat adalah
ucapan berupa ijab dan qabul
b.
Orang yang
berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin)
c.
Harta atau
barang yang dijadikan jaminan (marhun)
d.
Hutang (marhun
bih)
2.
Syarat Gadai
a.
Rahin dan murtahin
Mempunyai
kecakapan dalam melakukan akad (ahliyah al-tasharruf), yaitu balig,
berakal, cerdas, dan tidak terhalang melakukan akad seperti orang yang sedang
dipenjara. Pendapat tersebut sepakat dikemukakan oleh mayoritas ulama kecuali
Hanafiyah yang menyatakan balig tidak menjadi syarat. Oleh karena itu, anak
yang sudah mumayyiz asalkan ada izin orang tuanya, sah melakukan akad.
b.
Marhun
1)
Dapat dijual
apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang.
2)
Bernilai harta
dan boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu misalnya khamr dan bangkai tidak sah
dijadikan marhun.
3)
Dapat diketahui
dengan jelas pada waktu akad. oleh karena itu misalnya tidak sah menggadaikan
burung yang sedang terbang di uadara atau ikan yang ada di kolam.
4)
Dapat diserahterimakan
pada waktu akad. Oleh karena itu utang yang berada dalam tanggungan tidak sah
dijadikan marhun.
5)
Dapat dikuasai
oleh murtahin.
6)
Milik orang
yang menggadaikan atau orang yang berutang. Atau apabila milik orang lain harus
ada izin darinya. Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan hak kepengurusan
(wilayah syar’iyyah), seperti orang tua yang menggadaikan harta milik anaknya
atau orang yang menerima wasiat yang menggadaikan harta milik orang yang member
wasiat, maka hal itu diperbolehkan tanpa harus ada izin dari keduanya (anaknya
atau pemberi wasiat).
7)
Dapat dibagi
atau dipisahkan. Oleh karena itu tidak sah hukumnya menggadaikan harta yang
terikat dengan hak orang lain yang tidak bisa dibagi (musya), seperti
menggadaikan sebagian rumah atau setengah dari perangkat kendaraan, yang
kepemilikannya berserikat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.
Berbeda dengan Imam Syafi’I yang memperbolehkan hal tersebut apabila diketahui
keberadaannya.
8)
Satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu tdak sahnya hukumnya menggadaikan
buah yang ada di pohon, tanpa menggadaikan pohonnya, atau tanaman tanpa
tanahnya. Karena semuanya itu tidak mungkin memisahkan buah atau tanaman tanpa
pohon dan tanahnya.
c.
Marhun bih
1)
Merupakan hak
yang harus dikembalikan kepada rahin.
2)
Memungkinkan
dapat dibayarkan dengan marhun tersebut.
3)
Harus jelas dan
tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang memberikan marhun atas salah satu
dari dua utangnya, tanpa menjelaskan marhun yang diserahkan itu untuk utang
yang mana, maka hukumnya tidak sah. Karena hal tersebut termasuk ke dalam hak
yang samar.
4)
Masih tetap
berjalan. Oleh karena itu tidak sah hukunya menyerahkan marhun, namun
berutangnya di kemudian hari. Karena gadai itu merupakan kepercayaan atas hak,
yang tidak bisa terdahului oleh yang lain. Pendapat ini dikemukakan Hanabilah.
d.
Shighat
1)
Diungkapkan
dengan kata-kata yang menunjukkan akad gadai yang lazim diketahui masyarakat,
baik dengan ungkapan kata-kata atau petunjuk jelas. Misalnya telah dikemukakan
di atas dalam pembahasan rukun gadai.
2)
Dilakukan dalam
satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akad gadai hadir dan
membicarakan topik yang sama atau antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh
sesuatu yang menunjukkan berpalingnya akad menurut kebiasaan.
3)
Terdapat
kesesuaian antara ijab dan qabul. Maksudnya ungkapan qabul dari murtahin sesuai
atau ada kaitannya dengan yang dimaksud oleh ungkapan ijabnya rahin.
4)
Tidak dikaitkan
dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang. Karena akad gadai dalm hal
ini sama dengan akad jual beli. Apabila hal tersbut dilakukan, maka syaratnya
batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya rahin mensyaratkan jika utangnya belum
terbayar pada waktu yang telah ditentukan, maka dia waktunya diperpanjang lagi.
Atau murtahin mensyaratkan agar barang gadaian bisa dimanfaatkan olehnya.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.[8]
E.
Tujuan dan
Manfaat dan Resiko Pegadaian
1.
Tujuan
pegadaian
a)
Turut
melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di
bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang
pembiayaan/ pinjaman atas dasar hukum gadai.
b)
Pencegahan
praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
c)
Pemanfaatan
gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jarring pengaman sosial
karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/
pembiayaan berbasis bunga.
d)
Membantu
orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
2.
Manfaat
pegadaian
a)
Bagi nasabah
-
Tersedianya
dana dengan prosedur yang relative sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan.
-
Nasabah juga
mendapat manfaat penaksiran nilai barang bergerak seacara professional.
-
Mendapatkan
fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.[9]
-
Jika rahn
diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat membantu saudara kita
yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.[10]
-
Bank memberikan
kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan bank.
-
Serta bank
memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya
tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada
suatu asset atau barang (marhun).[11]
b)
Bagi perusahaan
pegadaian
-
Penghasilan
yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.
-
Penghasilan
yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa
tertentu. Bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat
keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan
emas.
-
Pelaksanaan
misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa
pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang
relative sederhana.
-
Berdasarkan PP
No.10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk: (1) dana pembangunan
semesta (55%), (2) cadangan umum (20%), (3) cadangan tujuan (5%), (4) dana
sosial (20%).[12]
3.
Risiko
pegadaian
a)
Risiko tak
terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
b)
Risiko
penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.[13]
F.
Hal-Hal yang
Berkaitan dengan Gadai
1. Status
Barang Gadai
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau
kontrak utang piutang bersama dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika
seorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk
pembelian barang dengan kredit. Status gadai sah setelah terjadinya utang. Para
ulama’ pun menilai hal ini sah karena utang tetap menuntut pengambilan jaminan.
Oleh karena itu, dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai berkaitan
dengan keseluruhan hak barang yang
digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang menggadaikan
sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi, keseluruhan barang gadai masih
tetap berada di tangan penerima gadai. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa barang
yang masih tetap berada di tangan penerima gadai hanya sebagiannya, yaitu
sebesar hak yang belum dilunasi.
2. Pemanfaatan
Barang Gadai
Mengenai penggunaan barang gadai oleh penggadaian
terdapat perbedaan pandangan di kalangan muslim. Menurut mazhab Hanafi dan
Hambali, penerima gadai boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk
utang atas izin pemiliknya karena barang itu dikehendaki untuk menggunakan hak
miliknya.
Sekalipun demikian, pada dasarnya tidak boleh
terlalu lama memanfaatkan barang jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang
jaminan hilang atau rusak. Hanya, diwajibkan untuk mengambil manfaat ketika
berlangsungnya rahn. Siapakah
yang mengambil manfaat gadai rahin
dan murtahin?
a.
Pemanfaatan rahin terhadap barang
gadaian
Dalam
masalah ini ada dua pendapat. Pertama,
jumhur ulama’ selain ulama, syafi’i melarang rahn untuk memanfaatkan
barang gadaian. Kedua, ulama’ syafi’i
membolehkan selam tidak memadharatkan murtahin.
b.
Pemanfaatan dari murtahin
Mayoritas
ulama’, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mempergunakan barang rahn.
3. Penjualan
Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Sebelum islam datang, tradisi orang arab, jika orang yang menggadaikan
barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, barang gadaiannya keluar dari
miliknya kemudian dikuasai oleh pemegang gadaian tersebut. Islam melarang dan
membatalkan cara tersebut. Sebagaimana dalam hadist dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far bahwa seseorang
menggadaikan sebuah rumah di Madinah untuk waktu tertentu. Kemudian, masanya
telah lewat. Lalu pemegang gadaian menyatakan bahwa ini menjadi rumahku.
Gadai merupakan
jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan pelunasan utang melalui harga
barang yang digadaikan jika rahin gagal melunasi utangnya setelah jatuh tempo.
Jika telah jatuh tempo, orang yang menggadaikan barang yang berkewajiban
melunasi utangnya. Jika tidak melunasinya, dan dia tidak mengizinkan barangnya
dijual untuk kepentingnnya, hakim berhak memaksanya untuk melunasi dan menjual
barang yang dijadikan jaminan. Jika hakim telah menjualnya, kemudian terdapat
kelebihan itu milik rahin, dan jika
masih belum bisa untuk melunasi utangnya, rahin
berkewajiban melunasi sisanya.
4. Musnahnya
Barang Gadai
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha
tentang barang gadai yang rusak atau hilang
di tangan penerima gadai. Sebagian fuqaha, yaitu Imam syafi’i, Ahmad,
Abu Tsaur dan dan kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa barang gadai adalah
barang titipan (amanat), dan merupakan barang dari orang yang menggadaikannya.
Pemegang gadai sebagai pemegang amanat, tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungan.
Jika terjadi pemusnhan di tangan
murtahin yang dipegangi dengan kata-kata murtahin diikuti dengan sumpahnya
bahwa dia tidak menganiaya barang tersebut.
5. Berakhirnya
Akad Gadai
Akad rahn dipandang berakhir atau habis
dengan beberapa keadaan berikut :
a.
Barang telah diserahkan kembali kepada
pemiliknya.
b.
Rahn
membayar utangnya.
c.
Dijual dengan perintah hakim atas
permintaan rahin
d.
Pembebasan utang
e.
Pembatalan oleh murtahin
f.
Rusaknya barang rahn bukan oleh
tindakan atau penggunaan murtahin.
g.
Memanfaatkan barang rahn dengan
penyewaan, hibah, atau sedekah, baik dari pihak rahin maupun murtahin.[14]
G.
Aplikasi dalam
Perbankan
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1. Sebagai produk pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’
al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri
Akad rahn
telah dipakai sebagai alternative dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan
pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga, yang
dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta
penaksiran yang dipungut dan ditetapkan di awal perjanjian. Sedangkan dalam
perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat
terakumulasi dan berlipat ganda.[15]
Dalam mekanisme
perjanjian gadai syariah, akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain:
1.
Akad al-qardhul
hasan
Akad
ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggandakan barangnya untuk keperluan
konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee
kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian
(marhun).
2.
Akad al-mudharabah
Akad
ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal
usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan
memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan
dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3.
Akad ba’I
al-muqayyadah
Akad
ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal
usaha berupa pembelian barang modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan
barang yang dimaksud oleh rahin.[16]
4.
Akad ijarah
Akad
ini dilakukan untuk nasabah (rahin) memberikan fee kepada murtahin ketika masa
kontrak berakhir dan murtahin mengembalikan marhun kepada rahin.[17]
5.
Akad musyarakah
amwal al-inan
Akad
musyarakah amwal al-inan adalah suatu transaksi dalam bentuk perserikatan
antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian syariah untuk
berbagi hasil (profit loss sharing), berbagi kontribusi, berbagi kepemilikan,
dan berbagi risiko dalam sebuah usaha.[18]
H.
Jasa dan Produk
dalam Pegadaian Syariah
Layanan jasa serta produk yang
ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.
Pemberian
pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai
Syaratnya
harus terdapat jaminan berupa barang bergerak, seperti emas, elektronik, dan
lain-lain. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, bergantung
pada nilai dan jumlah barang yang digadaikan.
2.
Penaksiran
nilai barang
Jasa
ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang taksiran barang
yang berupa emas, perak, dan berlian. Biaya yang dikenakan adalah ongkos
penaksiran barang.
3.
Penitipan
barang (ijarah)
Barang
yang dapat dititipkan, antara lain sertifikat motor,dan
tanah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.
4.
Gold counter
Merupakan
fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai bukti
kualitas dan keasliannya. [19]
I.
Operasional
dalam Pegadaian Syariah
1.
Nasabah
menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan.
Kemudian, pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam
pemberian besaran pembiayaan yang dapat diberikan oleh pegadaian syariah kepada
nasabah.
2.
Pegadaian
syaraiah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai berbagai hal,
seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan, dan
sebagainya.
3.
Pegadaian
syariah menerima biaya administrasi dibayar di awal, sedangkan untuk jasa
simpan pada saat pelunasan utang.
4.
Nasabah
melunasi barang yang digadaikan menurut akad: pelunasan penuh, ulang gadai,
angsuran, atau tebus sebagian.[20]
|
|||
![]() |
Gambar 1. Bagan
Proses Rahn[21]
J.
Perbedaan
Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional
No.
|
Pegadaian
Syariah
|
Pegadaian
Konvensional
|
1.
|
Biaya
administrasi berdasarkan barang.
|
Biaya
administrasi berupa persentase yang didasarkan pada golongan barang.
|
2.
|
1
hari dihitung 5 hari.
|
1
hari dihitung 15 hari.
|
3.
|
Jasa
simpanan berdasarkan simpanan.
|
Sewa
modal berdasarkan uang pinjaman.
|
4.
|
Apabila
pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan akan dijual kepada masyarakat.
|
Apabila
pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan dilelang kepada masyarakat.
|
5.
|
Uang
pinjaman 90% dari taksiran.
|
Uang
pinjaman untuk golongan A 92%, sedangkan untuk golongan BCD 88%-86%.
|
6.
|
Penggolongan
nasabah D-K-M-I-L.
|
Penggolongan
nasabah P-N-I-D-L.
|
7.
|
Jasa
simpanan dihitung dengan konstanta x taksiran.
|
Sewa
modal dihitung dengan persentase x uang pinjaman.
|
8.
|
Maksimal
jangka waktu 3 bulan.
|
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
|
9.
|
Kelebihan
uang hasil dari penjualan barang tidak diambil oleh nasabah, tetapi
diserahkan kepada lembaga ZIS.
|
Kelebihan
uang hasil lelang tidak diambil oleh nasabah, tetapi menjadi milik pegadaian.
[22]
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gadai adalah akad sebuah kepercayaan
dengan cara menjadikan sesuatu sebagai barang jaminan atas utang yang harus
dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya tidak terbayar, maka barang yang
dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar utangnya.
Tonggak awal kebangkitan Pegadaian ditandai dengan
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990. Sedangkan dasar hukum dari pegadian terdapat
pada Quran Surat al-Baqarah ayat 283, hadis Bukhari Muslim, hadis al-Nasai,
hadis al-Bukhari, dan lain-lain serta terdapat dalam ijma’ para ulama.
Rukun gadai terdiri dari : shighat, orang yang
menggadaikan (rahin), orang yang menerima gadai (murtahin), harta
yang dijaminkan (marhun), hutang (marhun bih). Sedangkan syarat
gadai terdiri dari : rahin dan marhun (mempunyai kecakapan), marhun
(dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang
dengan utang), marhun bih (merupakan hak yang harus dikembalikan kepada
rahin), shighat (diungkapkan dengan kata-kata).
Tujuan pegadaian adalah sebagai pencegahan ijon,
pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Manfaat dari pegadaian
adalah bagi nasabah tersedianya dana dengan prosedur yang relatif sederhana dan
dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan.
Sedangkan bagi perusahaan pegadaian adalah mendapatkan penghasilan yang
bersumber dari sewa yang dibayarkan oleh peminjam dana. Resikonya adalah tak
terbayarkan utang nasabah dan penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau
kontrak utang piutang bersama dengan penyerahan jaminan. Mengenai penggunaan
barang gadai oleh penggadaian terdapat perbedaan pandangan di kalangan muslim.
Jika telah jatuh tempo, orang yang menggadaikan barang yang berkewajiban
melunasi utangnya. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang
barang gadai yang rusak atau hilang di
tangan penerima gadai. Akad rahn dipandang berakhir atau habis dengan
beberapa keadaan seperti rahn membayar utangnya.
Kontrak rahn dipakai dalam
perbankan dalam dua hal yaitu Sebagai produk pelengkap dan Sebagai produk
tersendiri. Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah, akad perjanjian yang dapat
dilakukan antara lain: akad al-qardhul hasan,akad al-mudharabah,
akad ba’I al-muqayyadah, akad ijarah, akad musyarakah amwal
al-inan.
Layanan jasa serta produk yang
ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah: Pemberian pinjaman atau pembiayaan
atas dasar hukum gadai, Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum
gadai, Penitipan barang (ijarah), Gold counter.
Perbedaan pegadaian syariah dan
pegadaian konvensional adalah pada biaya adaministrasi, pengelolaan biaya hasil
penjualan barang yang tidak diambil oleh nasabah dan lain-lain.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan
sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau
kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga
bermanfaat dan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Gadai
Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan Institusionalisasi), Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
Ahmad Supriyadi, Struktur Hukum
Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No.
2, 2012.
Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Buchari Alma, Manajemen Bisnis
Syariah, Alfabeta, Bandung, 2009.
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi
Syariah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016.
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan
Syariah, Pustaka setia, Bandung, 2013.
M.
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis),
Pustaka Setia, Bandung, 2012.
Moh. Rifai, Konsep Perbankan
Syariah, Wicaksana, Semarang, 2002.
Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani,
Jakarta, 2013.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai
Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
[1] Abdul Ghofur
Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan
Institusionalisasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm.
88.
[2] Enang Hidayat,
Transaksi Ekonomi Syariah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016, hlm.
189-191.
[3] Ahmad
Supriyadi, Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal
Penelitian Islam, Vol. 5, No. 2, 2012, hlm. 7.
[4] Buchari Alma, Manajemen
Bisnis Syariah, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 31-32.
[5] Zainuddin Ali,
Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 3-4.
[6] Khaerul Umam, Manajemen
Perbankan Syariah, Pustaka setia, Bandung, 2013, hlm. 356-357.
[7] Enang Hidayat,
Transaksi Ekonomi Syariah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016, hlm.
191-193.
[8] Ibid., hlm.
194-196.
[9] M. Nur Rianto
Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis),
Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 283.
[10] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani,
Jakarta, 2013, hlm. 130.
[11] Moh. Rifai, Konsep
Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang, 2002, hlm. 91.
[12]
M. Nur Rianto
Al Arif, Op. Cit., hlm. 283.
[13]
Muhammad
Syafi’I Antonio, Op. Cit., hlm 131.
[14]
M. Nur Rianto
Al Arif, Op. Cit., hlm. 287-290.
[15] Muhammad
Syafi’I Antonio, Op. Cit., hlm.
130.
[16] Abdul Ghofur
Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan
Institusionalisasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm.
104.
[17] Zainuddin Ali,
Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 97.
[18] Ibid.,
hlm. 101.
[19] M. Nur Rianto
Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis),
Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 291.
[21] Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 109.
0 Response to "MAKALAH PEGADAIAN SYARIAH"
Posting Komentar