AKAD POLA JUAL BELI
MAKALAH
Diajukan Guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Farida Rohma, S.Pd. M.Sc
Disusun oleh :
1.
Nurul Huda : 1420210277
2.
Faris
Fahrudin : 1420210280
3.
Saefullah :
1420210288
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARIAH PRODI EKONOMI
ISLAM/ES
TAHUN AKADEMIK 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bentuk-bentuk akad jual
beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang
sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan.
Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang
telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan
perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana,
membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada
perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan
barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu
bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan
bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan
dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna’ dalam perbankan syari’ah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian jual beli?
2.
Apasaja dasar hukum jual beli?
3.
Apasaja macam-macam pola jual beli pada perbankan
syariah?
4.
Apa Perbedaan murabahah,s salam dan istishna’?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian,
Rukun dan Syarat Jual Beli
1.
Pengertian Jual Beli
Perdagangan
atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah
sedangkan menurut istilah yang dimaksut
jual beli adalah sebagai berikut:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan cara melepas
hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
b. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai aturan syara.
c. Saling menerima harta dan dapat dikelola dengan ijab dan qabul dengan cara
yang sesuai dengan syara.
d. Tukar-menukar barang/benda dengan cara khusus.
e. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merekatkan atau
memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui cara yang diperbolehkan.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami
bahwa inti jual beli adalah suatu tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lainnya menerima sesuatu sesuai perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara dan disepakati[1].
2. Syarat dan Rukun
Rukun
jual beli adalah:
a.
Penjul (ba’i)
b.
Pembeli (musytari)
c.
Objek jual beli (mabi)
d.
Harga (tsaman)
e.
Ijab qobul
Syarat jual
beli adalah:
a.
Pihak yang berakat sama-sama ridho/ikhlas,
mempunyai kekuasaan untuk jual beli.
b.
Barang / objek. Barang itu ada mesti tidak
ditempat. Akan tetapi, ada kesanggupan untuk mengadakan barang itu. Barang itu
milik sah penjual, barang yang diperjual belikan itu berwujud, tidak termasuk
kategori barang yang haram, dan sesuai dengan pernyataan penjual.
c.
Harga. Harga jual bank adalah harga beli ditambah
keuntungan. Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian. Sistem
pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama[2].
3.
Macam-macam Jual Beli
1.
Jual beli benda yang kelihatan
2.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam
janji
3.
Jual beli benda yang tidak ada
B.
Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli memang diperbolehkan, hal ini
berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun
ijma ulama. Di antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad
jual beli murabahah adalah sebagai berikut :
a. “Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan sukarela di antaramu” (QS. An Nisa : 29). Ayat ini melarang
segala bentuk transaksi yang batil. Di antara transaksi yang dikategorikan
batil adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem
kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan
uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan
setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak
yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal
yang menyangkut hak dan kewajiiban masing-masing.
b. “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al Baqarah : 275). Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan
jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan
ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari
syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah
karena ia merupakan salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi[3].
3. Pola jual
Beli pada Perbankan Syariah
. A. Jual Beli Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu
(keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli
murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang
dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi
jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-mal dan
pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli murabahah adalah
pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah
mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau
tambahan harga yang transparan.[4]
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana
penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan
profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah
merupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/kredit pada orang lain
dengan adanya penambahan interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli
komoditas. Jual beli ini menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan
permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga
jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang
diinginkan.[5]
Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis
penangguhan pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark up
profit. Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena
jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah
yang harus dibayar tetap sama. Mark up
sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya
dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut.
Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi
tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.[6]
Murabahah berbeda dengan jual beli biasa (musawamah)
dimana dalam jual beli musawamah terdapat proses tawar-menawar (bargaining)
antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga jual, dimana penjual juga
tidak menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan. Sedangkan
murabahah, harga beli dan margin yang diinginkan harus dijelaskan kepada
pembeli.[7]
B. Jual Beli Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual
suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang
ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.[8]
Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya
ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
Rukun dan Syarat Salam :
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus
terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
- Muslam atau
pembeli
- Muslam ilaih atau
penjual
- Modal atau uang
- Muslam fiihi atau
barang
- Sighat atau ucapan[9]
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a. Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih
dahulu
b. Barangnya menjadi utang bagi penjual
c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti
pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu,
men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak
sah
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun
bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu
e. Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas,
agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak.
Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat
bebeda
Perbedaan antara Jual
Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat
dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun
ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang
dalam jual beli biasa tidak perlu.
b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat
dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c. Dalam
jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas
dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas
yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan
hadits.
d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak;
yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan
ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat
menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang,
telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak
salam.
C.
Jual Beli Istishna’
1. Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan
antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima
pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk
membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta
sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan
suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam
bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti
ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
2. Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
- Bai’ istishna’
mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
- Bai’ istishna’
dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
- Dalam bai’
istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan
pemesanan
- Pembayaran dalam
bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
- Setelah akad jual
beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap
isi akad yang sudah disepakati
- Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka
pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau
membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
- Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak
membelanjakan harta
- Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka
dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli
- Objek yang
ditransaksikan, yaitu barang produksi.
3.
Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’
berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw.
bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam
Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta
dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di
bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau
duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku
tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian
dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi
Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang
cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau
meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i
menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw.
tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti
ini, karena memang ia sangat dibutuhkan. Sebagian
fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual
akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat
diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.[11]
4.
Istishna’ Paralel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja
pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’
kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini
dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan
kontrak istishna’ paralel. Diantaranya sebagai berikut:
- Bank islam sebagai
pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel
atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian
sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas
setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak paralel.
- Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap
bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara
langsung dengan nasabah dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’
kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat
untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak
mempunyai kaitan hukum sama sekali.
- Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau
mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan
pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga
menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
5.
Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam
istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali
pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi
sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’
al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan
harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi
ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan
dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses
produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas
work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses berikutnya,
sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan
proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas
dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha
berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan
cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang
tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu
untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil
keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pembelian
fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser
dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer
tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan
penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa
istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut disewakan skemanya
menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga
beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).[12]
D.
Perbedaan Murabahah, Salam dan Istishna’
Murabahah, salam, dan istishna’ merupakan jenis
pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada
akad jual beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu,
maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga
pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin)
dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah
pihak. Murabahah merupakan jual beli, dimana barangnya sudah ada, sedangkan
dalam salam dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesipulan
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan
al-Mubadalah sedangkan menurut istilah
yang dimaksut jual beli adalah sebagai berikut:
a. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai aturan syara.
b. Saling menerima harta dan dapat dikelola dengan ijab dan qabul dengan cara
yang sesuai dengan syara.
c. Tukar-menukar barang/benda dengan cara khusus.
.
Rukun jual beli
1.
Akad (ijab dan Qabul)
2.
Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3.
Ma’kud alaihi (objek akad)
Syarat jual beli adalah:
1.
Pihak yang berakat sama-sama ridho/ikhlas.
2.
Barang / objek. Barang itu ada mesti tidak
ditempat.
3.
Harga.
Pola
jual Beli pada Perbankan Syariah
. a. Jual Beli Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga
murabahah berarti saling menguntungkan.
b. . Jual Beli Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual
suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang
ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.
c. . Jual Beli Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli
dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli.
B. Saran
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Namun besar harapan
penulis agar makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu tugas perkuliahan,
yaitu mata kuliah Fiqih Ibadah.
Apabila dalam penyusunan
makalah ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca, ataupun
kekurangan pada penjelasan terhadap permasalahan, penulisan, penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Herry Sutanto, S.E., M.M. & Khaerul Umam, S.IP., M.Ag. Manajemen
Pemasaran Bank Syariah, CV.Pustaka Setia, Bandung 2013.
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta 2010
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Kencana, Jakarta
2012
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka Belajar, Yogyakarta
2010
Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003.
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema In
sani, Jakarta, 2001.
[1]
. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. hlm 67-68
[2] Herry Sutanto, S.E., M.M. & Khaerul Umam, S.IP., M.Ag. Manajemen
Pemasaran Bank Syariah, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2013. hlm 188
[4] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Kencana,
Jakarta, 2012. hlm 136
[5] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh
Muamalah, Pustaka Belajar, Jakarta, 2010. hlm 104-105
[6] Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di
Pasar Modal, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003. hlm 57
[8] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004. hlm143
sani, Jakarta, 2001. hlm109
Bagus
BalasHapussuka
BalasHapusMakasih gan.
BalasHapusok
BalasHapusbagus
BalasHapuslike
BalasHapus