MAKALAH AKAD POLA JUAL BELI

AKAD POLA JUAL BELI
MAKALAH
Diajukan Guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Farida Rohma, S.Pd. M.Sc

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   


Disusun oleh :

1.      Nurul Huda     : 1420210277
2.       Faris Fahrudin            : 1420210280
3.      Saefullah         :  1420210288
 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH PRODI EKONOMI ISLAM/ES
TAHUN AKADEMIK 2016





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna’ dalam perbankan syari’ah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian jual beli?
2.      Apasaja dasar hukum jual beli?
3.      Apasaja macam-macam pola jual beli pada perbankan syariah?
4.      Apa Perbedaan murabahah,s salam dan istishna’?








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian, Rukun dan Syarat Jual Beli
1.      Pengertian Jual Beli
            Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah sedangkan  menurut istilah yang dimaksut jual beli adalah sebagai berikut:
a.       Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan cara melepas hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
b.      Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai aturan syara.
c.       Saling menerima harta dan dapat dikelola dengan ijab dan qabul dengan cara yang sesuai  dengan syara.
d.      Tukar-menukar barang/benda dengan cara khusus.
e.       Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merekatkan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui cara yang diperbolehkan.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lainnya menerima sesuatu sesuai perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara dan disepakati[1].  
2.      Syarat dan Rukun
            Rukun jual beli adalah:
a.       Penjul (ba’i)
b.      Pembeli (musytari)
c.       Objek jual beli (mabi)
d.      Harga (tsaman)
e.       Ijab qobul
Syarat  jual beli adalah:
a.       Pihak yang berakat sama-sama ridho/ikhlas, mempunyai kekuasaan untuk jual beli.
b.      Barang / objek. Barang itu ada mesti tidak ditempat. Akan tetapi, ada kesanggupan untuk mengadakan barang itu. Barang itu milik sah penjual, barang yang diperjual belikan itu berwujud, tidak termasuk kategori barang yang haram, dan sesuai dengan pernyataan penjual.
c.       Harga. Harga jual bank adalah harga beli ditambah keuntungan. Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian. Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama[2].
3.      Macam-macam Jual Beli
1.      Jual beli benda yang kelihatan
2.      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
3.      Jual beli benda yang tidak ada

B.     Dasar Hukum Jual Beli
  Jual beli memang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut :
                   a.      “Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu” (QS. An Nisa : 29). Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiiban masing-masing.
                   b.      “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275). Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi[3].
      
 3. Pola jual Beli pada Perbankan Syariah
.                    A. Jual Beli Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.[4]
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas. Jual beli ini menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan.[5]
Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark up profit. Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap sama.  Mark up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.[6]
Murabahah berbeda dengan jual beli biasa (musawamah) dimana dalam jual beli musawamah terdapat proses tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga jual, dimana penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan. Sedangkan murabahah, harga beli dan margin yang diinginkan harus dijelaskan kepada pembeli.[7]
        B.     Jual Beli Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.[8] Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
    Rukun dan Syarat Salam :
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
  1. Muslam atau pembeli
  2. Muslam ilaih atau penjual
  3. Modal atau uang
  4. Muslam fiihi atau barang
  5. Sighat atau ucapan[9]
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a.       Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b.      Barangnya menjadi utang bagi penjual
c.       Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
d.      Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu
e.       Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
f.        Disebutkan tempat menerimanya.[10]
              Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a.       Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
b.      Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c.       Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d.      Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.

C.     Jual Beli Istishna’
1.      Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.

2.      Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
  1. Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
  2. Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
  3. Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan
  4. Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
  5. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
  6. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
  1. Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
  2. Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli
  3. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.

3.      Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan. Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.[11]

4.      Istishna’ Paralel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya sebagai berikut:
  1. Bank islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
  2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
  3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.

5.      Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).[12]

D.     Perbedaan Murabahah, Salam dan Istishna’
Murabahah, salam, dan istishna’ merupakan jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli, dimana barangnya sudah ada, sedangkan dalam salam dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesipulan
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah sedangkan  menurut istilah yang dimaksut jual beli adalah sebagai berikut:
a.       Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai aturan syara.
b.      Saling menerima harta dan dapat dikelola dengan ijab dan qabul dengan cara yang sesuai  dengan syara.
c.       Tukar-menukar barang/benda dengan cara khusus.
.       Rukun jual beli
1.      Akad (ijab dan Qabul)
2.      Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3.      Ma’kud alaihi (objek akad)
            Syarat  jual beli adalah:
1.      Pihak yang berakat sama-sama ridho/ikhlas.
2.      Barang / objek. Barang itu ada mesti tidak ditempat.
3.      Harga.

Pola jual Beli pada Perbankan Syariah
.      a.  Jual Beli Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan.
       b. .     Jual Beli Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.
c. .     Jual Beli Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
B.     Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Namun besar harapan penulis agar makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu tugas perkuliahan, yaitu mata kuliah Fiqih Ibadah.
Apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca, ataupun kekurangan pada penjelasan terhadap permasalahan, penulisan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
























DAFTAR PUSTAKA
 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.                     
Herry Sutanto, S.E., M.M. & Khaerul Umam, S.IP., M.Ag. Manajemen Pemasaran Bank Syariah, CV.Pustaka Setia, Bandung 2013.
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah,  Sinar Grafika, Jakarta 2010
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Kencana, Jakarta 2012
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,  Pustaka Belajar, Yogyakarta 2010
Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal,  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
                     M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
                   Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,  Gema In
sani, Jakarta, 2001.




[1] . Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. hlm 67-68
[2] Herry Sutanto, S.E., M.M. & Khaerul Umam, S.IP., M.Ag. Manajemen Pemasaran Bank Syariah, CV.Pustaka Setia, Bandung,  2013. hlm 188
[3] . Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah,  Sinar Grafika, Jakarta, 2010. hlm  26-27
[4] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Kencana, Jakarta, 2012. hlm 136
[5] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka Belajar, Jakarta, 2010. hlm 104-105
[6] Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal,  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. hlm 57
[7] Dimyauddin Djuwaini, Op.cit.,hal 105
[8] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. hlm143
[9] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,  Gema In
sani, Jakarta, 2001. hlm109
[10] Mardani, Op.cit.,hal 114
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit., hal 114
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, log.cit., hal 164

6 Responses to "MAKALAH AKAD POLA JUAL BELI"