MAKALAH RIBA, KEUANGAN DAN BUNGA BANK


RIBA, KEUANGAN DAN BUNGA BANK
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester 5
Mata Kuliah : Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampun : Farida Rohmah, S.Pd, M.Sc






Disusun Oleh :
1.      Aprilia Inge Prastika                           (1420210286)
2.      Arista Mayasari                                  (1420210309)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / ES
TAHUN 2016







BAB II
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Kegiatan ekonomi merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari perilaku manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi orang islam, Al Qur’an merupakan suatu pedoman sekaligus sebagai petunjuk dalam menjalankan segala kagiatan tersebut,  namun tidak semua kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al Qur’an. Apalagi jika kegiatan tersebut dapat merugikan orang banyak seperti monopali, pencaloan, perjudian dan riba.  Mulanya riba merupakan suatu tradisi bangsa Arab pada jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual, yang meminjam atau yang memberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau memungut nilai yang jauh lebih dari semula, yakni tambahan yang dirasakan memberatkan.
Larangan riba sebenarnya sudah tegas dan jelas dalam Al Qur’an dan hadis Nabi SAW yang sudah cukup banyak mengutarakannya dan mencela para pelakunya, sehingga pada prinsipnya disepakati pengharaman riba. Dalam perkembangan selanjutnya umat islam dihadapkan dengan kontak peradaban barat dalam sistem perbankan yang mensyaratkan adanya bunga dalam setiap transaksinya. Dengan adanya sistem tersebut maka konsep riba yang dianggap final status hukumnya mulai mengalami peninjauan kembali oleh para tokoh pembaharu muslim, hal inilah yang seharusnya dapat diantisipasi oleh kaum muslim sedini mungkin untuk tetap menjauhi riba dalam setiap transaksi ekonomi.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan ruang lingkup riba ?
2.      Apa pengertian, sejarah dan perkembangan keuangan islam ?
3.      Apa pengertian dan bagaimana pandangan ulama tentang bunga bank ?
4.      Apa perbedaan bunga dan bagi hasil ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan ruang lingkup riba
1.      Pengertian riba
Menurut bahasa, riba adalah ziyadah, yaitu tambahan yang diminta atas utang pokok. Dalam pegertian lain, secara linguistik riba berarti juga tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.[1] Ibnu Hajar Askalani mengatakan bahwa, riba adalah kelebihan baik itu berupa kelebihan dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran dengan satu rupiah.[2]
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya :
ياءيها الذين ءامنوا لاتاكلوا اءمولكم بينكم بالبطل .....
“Hai ornag-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil…” (an-Nisa’ : 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:
والربا فى اللغة هو الزيادة والمراد به في الاية كل زيادة لم يقابلها عوض
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi penggati atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.[3] Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
2.      Ruang lingkup riba
2.1  Sejarah pelarangan riba
Riba tidak hanya dikenal dalam islam saja, tetapi dalam agama lain (non-islam) riba telah dikenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambilan riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak sebelum islam datang.
a.       Masa Yunani Kuno
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat membenci pembungaan uang :
“Bunga uang tidaklah adil”
“Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur”
“Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya”
b.      Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximal rate)” melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna melindungi para peminjam.


c.       Menurut agama Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan :
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus tekut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
d.      Menurut agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani.
e.       Menurut agama Islam
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW kegiatan transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan transaksi yang secara tegas diharamkan bahkan pengharamannya telah menjadi aksioma dalam ajaran islam. Riba merupakan transaksi yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitur) bahkan merusak akhlak dan moralitas manusia. Pengharaman riba telah banyak diuraikan oleh ayat-ayat Al Qur’an maupun As Sunnah.[4]



2.2  Jenis-jenis riba
Riba dilihat dari asal transaksinya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu riba yang berasal dari transaksi utang piutang dan jual beli.
2.2.1        Riba dari utang piutang
Riba ini terjadi disebabkan adanya transaksi utang piutang antara dua pihak. Riba yang berasal dari utang piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu riba qardh dan riba jahiliyah.
a.       Riba Qardh
Adalah suatu tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam.  Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahansejumlah tertentu kepada pihak peminjam pada saat peminjam mengembalikan pinjaman.
b.      Riba Jahiliyah
Adalah riba yang timbul karena adanya keterlambatan pembayaran dari si peminjam sesuai denga waktu pengembalian yang telah diperjanjikan. Peminjam akan membayar dengan jumlah tertentu yang jumlahnya melebihi jumlah uang yang telah dipinjamnya apabila peminjam tidak mampu membayar pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.
2.2.2        Riba dari transaksi jual beli
Riba bisa juga disebabkan dari transaksi pertukaran barang atau jual beli. Riba yang berasal dari transaksi jual beli dibagi menjadi dua jenis yaitu riba fadhl dan riba nasiah
a.       Riba Fadhl
Adalah tambahan yang diberikan atas pertukaran barang yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Barang yang menjadi objek pertukaran ialah termasuk dalam jenis barang ribawi. Dua pihak melakukan transaksi pertukaran barang yang sejenis, namun satu pihak akan memberikan barang ini dengan jumlah, kadar atau takaran yang lebih tinggi. Maka, kelebihan atas kadar atau takaran barang ribawi yang dipertukakan merupakan riba.
b.      Riba Nasiah
Merupakan pertukaran antara jenis barang ribawi yang satu dan yang lainnya. Pihak satu akan mendapatkan barang yang jumlahnya lebih besar disebabkan adanya perbedaan waktu dalam penyerahan barang tersebut. Penerima barang akan mengembalikan dengan kuantitas yang lebih tinggi karena penerima barang akan mengembalikan barang tersebut dalam waktu yang akan datang.[5]
2.3  Jenis barang ribawi
Para ahli fiqih islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini, akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang initinya bahwa barang ribawi melibuti :
a.       Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
b.      Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
1)      Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah denga rupiah hendaklah Rp 5000 dengan Rp 5000 dan diserahkan ketika tukar menukar.
2)      Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp 5000 dengan 1 dollar Amerika.
3)      Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4)      Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.[6]
2.4  Dampak negatif riba
Riba dilarang dalam islam karena memberikan dampak negatif terhadap ekonomi maupun sosial masyarakat.
a.       Dampak Ekonomi
1)      Inflasi
Perusahaan yang memperoleh pinjaman dari bank, harus membayar sejumlah bunga. Dimana biaya bunga tersebut dibebankan pada komponen harga pokok yang mengkibatkan harga jual meningkat karena didalamnya ada unsur bunga yang dibebankan kepada pembeli. Secara nasional pembebanan bunga kepada pembeli akan menaikkan harga, sehingga akan menyebabkan inflasi.
2)      Ketergantungan ekonomi
Peminjam akan selalu membayar bunga kepada pemberi pinjaman dimana pembayaran pinjaman tersebut akan dilakukan dengan cara mengangsur. Pembayaran angsuran pinjaman akan menimbulkan kecenderungan bagi peminjam untuk melakukan pinjaman lagi setelah lunas, sehingga terdapat ketergantungan bagi pihak peminjam terhadap pemberi pinjaman.
b.      Dampak sosial
1)      Ketidakadilan
Bunga akan diterima oleh pihak pemberi pinjaman, sedangkan pihak peminjam akan membayar bunga. Pemberi pinjaman akan selalu diuntungkan karena mendapat bunga dari peminjam, sebaliknya peminjam akan selalu rugi karena dibebani biaya atas uang yang dipinjamkan.
2)      Ketidakpastian
Peminjam akan selalu membayar bunga sesuai dengan persentase yang telah diperjanjikan. Pemberi pinjaman selalu mendapatkan keuntungan meskipun peminjam menderita kerugian, padahal usaha yang dilakukan oleh peminjam masih mengandung unsur ketidakpastian apakah akan mendapat keuntungan atau menderita kerugian.[7]

B.     Pengertian, sejarah dan perkembangan keuangan islam
1.      Pengertian keuangan islam
Keuangan islam adalah lembaga keuangan milik umat islam, melayani umat islam, ada dewan syariah, merupakan anggota organisasi internasional bank islam (IAIB) dan sebagainya. Lebih luas, keuangan islam meliputi tidak hanya persoalan perbankan tapi meliputi juga kerja sama saling membiayai, keamanan dan asuransi perusahaan, dan lain sebagainya diluar bank.[8]
2.      Sejarah keuangan islam
Lembaga keuangan terkenal pertama yang didirikan oleh umat islam muncul sekitar sepuluh tahun setelah Nabi SAW wafat (632 M) oleh Khalifah Umar. Dibawah kepemimpinan khalifah Umar, umat islam sukses menaklukan dua negara adidaya masa itu yakni Romawi dan Persia yang tentunya membawa banyak harta rampasan (ghanimah) dimana harus ada cara untuk mendidtribusikan semua perolehan itu. Warga negara yang miskin harus mendapat (dengan kriteria tertentu) subsidi tahunan yang diambil dari ghanimah dan pendapatan dari negara lainnya. Untuk itu Umar membentuk sebuah lembaga diwan yang diilhami oleh dan meniru birokrasi Persia (ata), yang bertugas mendata semua warga yang layak mendapat subsidi. Pemasukan negara dari wilayah-wilayah taklukan disimpan di Baitul Mal, yakni sebuah institusi yang memadukan konsep ata dan diwan dimana seorang pemimpin harus memastikan bahwa setiap orang Arab maupun non Arab mendapatkan “bagian yang adil.”[9]
Jauh dimasa kemudian, yaitu pada paruh 1940-an, muncul upaya untuk membentuk perbankan islam di Melayu, pada akhir 1950-an di Pakistan melalui Jamaat Islami (1969), dan di Mesir dengan nama Egyp’s Mit Ghamr Saving Banks (1963-1967), dan Nasser Sosial Bank (1971). Pada dasawarsa selanjutnya, perkembangan perekonomian umat yang semakin pesat dan terus mengalami kemajuan, lahirlah lembaga keuangan islam yang terus menjadi motor penggerak perekonomian guna menghimpun dana dan menyalurkannya ke semua lapisan masyarakat tanpa membebankan bunga namun tetap menghasilkan keuntungan yang pada akhirnya dapat berlaku secara adil. Lembaga keuangan tersebut pada akhirnya akan dikenal sebagai perbankan syariah yang mengadopsi seluruh ketentuan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.
3.      Perkembangan keuangan islam
Sistem keuangan dan perbankan islam hadir untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada komunitas muslim. Selain tujuan khusus ini, institusi perbankan dan keuangan sebagaimana aspek-aspek masyarakat islam lainnya diharapkan dapat memberi kontribusi yang layak bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi islam. Tampaknya dimensi religius harus dikemukakan sebagai tujuan terakhir, dalam arti bahwa peluang untuk melakukan operasi keuangan yang halal jauh lebih penting dibanding model operasi keuangan itu sendiri. Dari perspektif islam, tujuan utama perbankan dan keuangan islam dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan  pembaruan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip islam.
b.      Distribusi pendapatan dan yang kelayakan yang wajar.
c.       Kemajuan pembagunan ekonomi.[10]
Ternyata perkembangan keuangan islam mempengaruhi laju keuangan konvensional, sehingga banyak negara non-muslin yang melakukan program komprehensif untuk mereformasi sistem moneter dan keuangan sesuai syariah islam. Proses islamisasi ini secara umum dilakukan dengan mendirikan bank-bank islam yang beroperasi tanpa menarik atau membayar bunga atas pinjaman atau tabungan (deposito). Bank-bank itu biasanya tidak dibebani pajak, tetapi harus membayar zakat dalam bentu retribusi atas modal.
Aset-aset mereka pun bebas dari penyitaan karena kebanyakan bank islam didirikan berdasarkan undang-undang khusus dari kemungkinan pengambilalihan atau nasionalisasi dimasa kemudian. Agaknya, proteksi semacam itu mendorong banyak investor untuk menjalin kerja sama dengan bank islam. Sejumlah besar lembaga keuangan islam mengelola pasar uang informal, terutama yang ada di negara-negara non-muslim, lembaga keuangan itu berfungsi sebagai asosiasi simpan pinjam, lembaga kredit, koperasi, dana-dana islam, dan lembaga kredit koperasi.[11]

C.    Pengertian dan pandangan ulama tentang bunga bank
1.      Pengertian bunga bank
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan bahwa interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned, yakni bahwa bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Adapun pendapat lain menyatakan bahwa “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau porsentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.[12]  
Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam karena itu hal tersebut tetaplah riba. Dalam ekonomi kapitalis, bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan, berdasarkan prinsip dari perbankan konvensional, tanpa bunga sistem perekonomian akan lumpuh. Sedangkan islam mempunyai kekuatan yang sangat dinamis dalam menjalankan sistem perbankan dan lembaga keuangan lain tanpa harus menjalankan sistem bunga.
2.      Pandangan ulama tentang bunga bank
Banyak pendapat dan tanggapan dikalangan para ulama dan ahli fiqih baik klasik maupun kontemporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak. Menurut al-Maragi dan as-Subani tahap pembicaraan Al Quran tentang riba sama dengan tahap pembicaraan khamr yang pada tahap pertama sekedar menggambarkan unsur negative didalam riba (ar-Rum:39), kemudian disusul dengan kejelasannya (an-Nisa:160-161). Kemudian pada tahap ketiga secara eksplisitdinyatak terhadap keharaman salah satu bentuknya (ali Imran:130) dan pada tahap terakhir keharaman riba secara total dalam berbagai bentuknya (al-Baqarah:278).
Beberapa ulama yang menganggap bunga bank tidak sama dengan riba diantaranya : pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh imam Akbar Syeh Mahmud Syaltud adalah “pinjaman berbunga dibolehkakan bila sangat dibutuhkan.” fatwa ini muncul tatkala beliau ditanya tentang kredit yang berbunga dan kredit suatu Negara dari Negara lain atau perorangan.
Adapun segolongan ulama, seperti Muhammad Abduh berpendapat bahwa riba yang diharamkan Al Quran hanyalah riba yang berlipat ganda. Riba inilah yang menurut Abduh yang sering dipraktikkan masyarakat jahiliyah. Selanjutnya menurut ijma’ “consensus” para fuqoha tanpa kecuali, bunga tergolong riba karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga. Lebih jauh lagi, lembaga-lembaga islam internasional maupun nasional telah memutuskan sejak tahun 1965 bahwa bunga bank atau sejenisnya adalah sama dengan riba dan haram secara syariah.


D.    Perbedaan bunga dan bagi hasil
Bunga juga memberikan keuntungan kepada pemilik dana atau investor. Namun keuntungan yang diperoleh pemilik dana atas bunga tentunya berbeda dengan keuntungan yang diperoleh dari bagi hasil. Keuntungan yang berasal dari bunga sifatnya tetap tanpa memperhatikan hasil usaha pihak yang dibiayai, sebaliknya keuntungan yang berasal dari bagi hasil akan berubah mengikuti hasil usaha pihak yang mendapatkan dana. Dengan system bagi hasil, kedua pihak antara pihak investor dan pihak penerima dana akan menikmati keuntungan dengan pembagian yang adil. Secara garis besar, perbedaan antara bunga dan bagi hasil :
BUNGA
BAGI HASIL
Besarnya bunga ditetapkan pada saat perjanjian dan mengikat kedua pihak yang melaksanakan perjanjian dengan asumsi bahwa pihak penerima pinjaman akan selalu mendapatkan keuntungan.
Bagi hasil ditetapkan dengan rasio nisbah yang disepakati antara pihak yang melaksanakan akad pada saat akad dengan berpedoman adanya kemungkinan keuntungan atau kerugian.
Besarnya bunga yang diterima berdasarkan perhitungan persentase bunga dikalikan dengan jumlah dana yang dipinjamkan.
Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan nisbah yang diperjanjikan dikalikan dengan   pendapatan dan atau keuntungan yang diperoleh.
Jumlah bunga yang diterima tetap, meskipun usaha peminjam meningkat atau menurun.
Jumlah bagi hasil akan dipengarui oleh besarnya pendapatan atau keuntungan. Bagi hasil akan berfluktuasi.
System bunga tidak adil, karena tidak terkait dengan hasil usaha peminjam.
System bagi hasil adil, karena perhitungannya berdasarkan hasil usaha.
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agam.
Tidak ada agama satupun yang meragukan system bagi hasil. [13]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut bahasa, riba adalah ziyadah, yaitu tambahan yang diminta atas utang pokok. Dalam pegertian lain, secara linguistik riba berarti juga tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Jenis-jenis riba yaitu Riba Qard, Riba Nasiah,
Keuangan islam adalah lembaga keuangan milik umat islam, melayani umat islam, ada dewan syariah, merupakan anggota organisasi internasional bank islam (IAIB) dan sebagainya. Lembaga keuangan terkenal pertama yang didirikan oleh umat islam muncul sekitar sepuluh tahun setelah Nabi SAW wafat (632 M) oleh Khalifah Umar. Dibawah kepemimpinan khalifah Umar, umat islam sukses menaklukan dua negara adidaya masa itu yakni Romawi dan Persia yang tentunya membawa banyak harta rampasan (ghanimah) dimana harus ada cara untuk mendidtribusikan semua perolehan itu
Sistem keuangan dan perbankan islam hadir untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada komunitas muslim. Selain tujuan khusus ini, institusi perbankan dan keuangan sebagaimana aspek-aspek masyarakat islam lainnya diharapkan dapat memberi kontribusi yang layak bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi islam. Tampaknya dimensi religius harus dikemukakan sebagai tujuan terakhir,
Keuntungan yang berasal dari bunga sifatnya tetap tanpa memperhatikan hasil usaha pihak yang dibiayai, sebaliknya keuntungan yang berasal dari bagi hasil akan berubah mengikuti hasil usaha pihak yang mendapatkan dana. Dengan system bagi hasil, kedua pihak antara pihak investor dan pihak penerima dana akan menikmati keuntungan dengan pembagian yang adil.

B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan dan sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hlm. 37.
Ismail, Perbankan Syariah, Prenada Media Group, Jakarta, 2011,  hlm. 11.
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 13-14
Wasilul Chair, “Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah”,  Jurnal Iqtishadia, Volume I  No. 1,  Juni 2014, hlm. 103-109.
Jaih Mubarok, “Riba dalam Transaksi Keuangan”, At-Taradhi Jurnal Studi Ekonomi, Volume VI Nomer 1, Juni 2015, hlm. 39.
http://efa-mbem.blogspot.co.id/2013/04/makalah-keuangan-islam.html diakses 09 september 2016 pukul 10.16 WIB




[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hlm. 37.
[2] Ismail, Perbankan Syariah, Prenada Media Group, Jakarta, 2011,  hlm. 11.
[3]Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit., hlm. 37-38.
[4]Wasilul Chair, “Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah”,  Jurnal Iqtishadia, Volume I  No. 1,  Juni 2014, hlm. 103-109.
[5]Ismail, Op. Cit., hlm. 12-15.
[6] Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit., hlm. 42.
[7]Ismail, Op. Cit., hlm. 21-23.
[8] http://efa-mbem.blogspot.co.id/2013/04/makalah-keuangan-islam.html diakses 09 september 2016 pukul 10.16 WIB.
[9] Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
[10]Ibid, hlm. 122-123.
[11]Ibid, hlm. 162-163.
[12] Jaih Mubarok, “Riba dalam Transaksi Keuangan”, At-Taradhi Jurnal Studi Ekonomi, Volume VI Nomer 1, Juni 2015, hlm. 39.
[13] Ismail, Op. Cit., hlm. 37-38.

1 Response to "MAKALAH RIBA, KEUANGAN DAN BUNGA BANK"

  1. Saya Ny. Nisrina Endang dari Makassar, Indonesia, saya menggunakan media untuk memberi tahu saudara laki-laki dan perempuan saya bagaimana saya baru-baru ini mendapat pinjaman sebesar Rp450.000.000 dari seorang ibu yang baik ketika anak saya sakit dan membutuhkan transplantasi ginjal Saya tidak punya uang semua orang menolak saya, bank saya menolak saya sampai saya bertemu dengan seorang saksi yang memperkenalkan saya kepada perusahaan pinjaman yang bagus bernama Ibu RIKA ANDERSON LOAN COMPANY, mereka memberi saya pinjaman untuk membayar tagihan medis anak saya dan mendirikan sebuah bisnis tanpa jaminan dengan bunga 2% , Ibu Rika adalah penyelamat hidup, semoga Tuhan terus memberkatinya karena perbuatan baiknya, jika Anda membutuhkan pinjaman atau bantuan keuangan untuk melunasi utang Anda atau berinvestasi dalam bisnis Anda, saya akan mendorong Anda untuk menghubungi perusahaan melalui email rikaandersonloancompany@gmail. com
    dalam kasus untuk dan setiap pertanyaan atau saran saya dapat dihubungi melalui email di endangnisrina@gmail.com semoga damai dan berkah menjadi perhatian bagi kita semua.

    BalasHapus