BANK
PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen
Pengampu: Farida Rohmah S.Pd.,
M.Sc.
Disusun
Oleh:
(Kelompok
10)
1. Jauharoh
Al Rohmah (1420210
2. Malikhatun (1420210307)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM/ES
TAHUN
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peranan bank dewasa ini sangat
dominan dalam perekonomian masyarakat di Indonesia pada umumnya. Hampir setiap
kegiatan perekonomian masyarakat tidak terlepas dari peran bank maupun
lembaga keuangan lainnya diluar bank. Dalam menjalankan aktifitasnya, bank
menawarkan berbagai produk yang berisi kegiatan pendukung perekonomian
masyarakat, mulai dari jasa menabungkan uang masyarakat, pengiriman uang atau
jasa-jasa yang lainnya intinya mempermudah masyarakat melakukan aktifitas
bisnis dan perekonomian sehari-hari. Karena sebagian besar Bank Konvensional
dan Syariah hanya mencakup untuk kalangan masyarakat atas dan menengah keatas,
dengan salah satu penyebabnya adalah letak dari tempat bank tersebut, yakni
hanya ada di perkotaan saja, sehingga orang-orang yang ada di pedesaan ataupun
kecamatan kurang bisa menjangkau.
Sehingga untuk merangkul masyarakat
ekonomi lemah, maka pemerintah mengatur untuk didirikannya Bank Perkreditan
Rakyat di tingkat kecamatan, dan desa. Yang bertujuan agar semakin meratanya
pelayanan keuangan bagi seluruh masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian, dasar pemikiran, dan sejarah berdirinya Bank Perkreditan Rakyat
Syariah?
2. Bagaimana
tujuan, strategi, dan usaha-usaha BPR Syariah?
3. Bagaimana
ketentuan dan tata cara pendirian BPR Syariah?
4. Bagaimana
Organisasi/Manajemen BPR Syari’ah?
5. Bagaimana
kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah?
6.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Dasar Pemikiran, dan Sejarah
Berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah
1. Pengertian
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) menurut Undang-Undang (UU) Perbankan No.7 Tahun 1992
pasal 1 ayat 3, adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam
bentuk deposito berjangka tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan pada UU Perbankan
No.10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 4, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan
bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan
prinsip syariah.[1]
Pelaksanaan BPR yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur
Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1998 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, secara teknis
BPR syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR
konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.[2]
2. Dasar
Pemikiran Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Berdirinya BPR Syariah di Indonesia selain didasari
oleh tuntutan bermuamalah secara Islam yang merupakan keinginan kuat dari
sebagian besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka
restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket
kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan secara umum. Secara khusus adalah
mengisi peluang terhadap kebijaksanaan yang membebaskan bank dalam penetapan
tingkat suku bunga (Rate Interest), yang kemudian dikenal dengan bank
tanpa bunga.[3]
3. Sejarah Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Status hukum BPR diakui pertama kali dalam Pakto
tanggal 27 Oktober 1988, sebagai Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan
Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan,
seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari
(LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan atau lembaga lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya UU No.7 tahun 1992 tentang
Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut diperjelas
melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Berdirinya BPR syariah tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh berdirinya lembaga-lembaga keuangan sebagaimana disebutkan di atas.
Lebih jelasnya keberadaan lembaga keuangan tersebut dipertegaas munculnya
pemikiran untuk mendirikan bank syariah pada di tingkat nasional. Bank syariah
yang dimaksud adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri tahun 1992.
Namun jangkauan BMI terbatas pada wilayah-wilayah tertentu, misalnya di
kabupaten, kecamatan dan desa. Oleh karenanya peran BPR syariah diperlukan
untuk menangani masalah keuangan masyarakat di wilayah-wilayah tertentu.
Sebagai langkah awal, ditetapkan tiga lokasi
berdirinya BPR syariah. Ketiga BPR syariah tersebut adalah:
1) PT.
BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung.
2) PT.
BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung.
3) PT.
BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung.
Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR
syariah tersebut telah mendapatkan ijin prinsip dari Menteri keuangan RI.
Selanjutnya, dengan technical assistance dari Bank Bukopin cabang
Bandung yang memperlancar penyelenggaraan pelatihan dan pertemuan para pakar
perbankan, pada tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Marhatillah, BPR Berkah Amal
Sejahtera, dan BPR Amanah Rabbaniyah tersebut masing-masing mendapatkan ijin
usaha dari Menteri Keuangan RI.
Untuk mempercepat proses berdirinya
BPR-BPR syariah yang lain dibentuklah lembaga-lembaga penunjang, antara lain:
1) Institute
for Syariah Economic Development (ISED)
ISED bertugas
melaksanakn program pendidikan atau pemberian bantuan teknis pendirian BPR
syariah di Indonesia, khusunya di daerah-daerah berpotensi. Hasil yang telah
dicapai ISED, antara lain:
a. BPR
Harcukat di propinsi Aceh
b. BPR
Amanah Umah, kec. Leuweliang, Bogor
c. BPR
Pembanguan Cikajang Raya, kec. Cikajang, Garut
d. BPR
Bina Amwalul Hasanah, kec. Sawangan, Bogor
2) Yayasan
Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS)
YPPBS membantu
perkembangan BPR syariah di Indonesia dengan melakukan kegiatan-kegiatan:
a. Pendidikan,
baik tingkat dasar untum sarjana baru maupun tingkat menengah untuk para praktisi
yang berpengalaman minimal 2 tahun diperbankan.
b. Membantu
proses pendirian dan memberikan technical assistance.[4]
B. Tujuan,
Strategi, dan Usaha-Usaha BPR Syariah
1. Tujuan
BPR Syari’ah
Adapun tujuan yang dikehendaki dengan berdirinya
BBPR syariah adalah:
a. Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b. Menambah
lapangan kerja terutama ditingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus
urbanisasi.
c. Membina
semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan
pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
2. Strategi
Operasional BPR Syari’ah
Untuk
mencapai tujuan operasionalisasi BPR syariah tersebut diperlukan strategi
operasinal sebagai berikut:
a. BPR
syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas,
melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi atau penelitian kepada
usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga
memiliki prospek bisnis yang baik.
b. BPR
syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan
mengumatakan usaha skala menengah dan kecil.
c. BPR
syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya
produk yang akan diberi pembiayaan.[5]
3. Usaha-Usaha
BPR Syariah
Pada
dasarnya, sebagai lembaga keuangan syariah BPR syariah dapat memberikan
jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah, dalam usaha
pengerahan dana masyarakat, BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan
dalam berbagai bentuk, antara lain:
a. Simpanan
Amanah
Disebut
dengan simpanan Amanah, sebab dalam hal bank penerima titipan amanah (truste account) dari nasabah. Disebut dengan titipan amanah karena bentuk perjanjian adalah wadiah, yaitu titipan yang
tidak menanggung resiko. Namun demikian, bank akan memberikan bonus dari bagi
hasil keuntungan yang diperoleh bank melalui pembiayaaan kepada nasabahnya.
b.
Tabungan Wadiah
Dalam tabungan ini bank menerima tabungan (saving account) dari nasabah dalam bentuk tabungan bebas. Sedangkan
akad yang diikat oleh bank dengan nasabah dalam bentuk wadiah. Titipan nasabah tersebut tidak menanggung resiko
kerugian, dan bank memberikan bonus kepada nasabah. Bonus itu diperoleh bank
dari bagi hasil dan kegiatan pembiayaan kredit kepada nasabah lainnya. Bonus
tabungan wadiah itu dapat diperhitungkan secara harian dan
dibayarkan kepada nasabah pada setiap bulannya.
c.
Deposito Wadiah
Mudharabah
Dalam
produk bank ini bank menerima deposito berjangka (time and investment
account) dari nasabahnya. Akad yang dilakukan dapat berbentuk wadiah
dan dapat pula berbentuk mudharabah. Lazimnya jangka waktu deposito
itu adalah 1, 2, 6, 12 bulan dan seterusnya sebagai bentuk penyertaan modal
(sementara). Maka nasabah/deposan mendapat bonus keuntungan dan bagi hasil yang
diperoleh bank dari pembiayaan/kredit yang dilakukannya kepada nasabah-nasabah
lainnya.
Fasilitas
pengerahan dana tersebut, juga dapat digunakan untuk menitipkan sedekah, infak,
zakat, tabungan haji, tabungan kurban, tabungan aqiqah, tabungan
keperluan pendidikan, tabungan pemilikan kendaraan, tabungan pemilikan rumah,
bahkan bisa digunakan untuk sarana penitipan dana-dana masjid, dana pesantren,
yayasan dan lain sebagainya.
Selain
melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, BPR syariah dapat pula
bertindak sebagai lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal
dari zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah atau dana social lainnya dan
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman
kebajikan (qardhul hasan).
Sementara, dalam
menyalurkan dana masyarakat BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan
seperti:
1. Pembiayaan
Mudharabah
Dalam
pembiayaan mudharabah bank mengadakan akad dengan nasabah
(pengusaha). Bank menyediakan pembiayaan modal usaha bbagi proyek yang dikelola
oleh pengusaha. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi (perjanjian bagi hasil)
sesuai dengan kesepakatan yang telah diikat oleh bank dan pengusaha tersebut.
2. Pembiayaan
Musyarakah
Dalam
pembiayaan musyarakah ini bank dengan pengusaha mengadakan perjanjian.
Bank dan pengusaha berjanji bersama-sama membiayai suatu proyek yang juga
dikelola secara bersama-sama. Keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut
akan dibagi sesuai dengan penyertaan masing-masing pihak.
3. Pembiayaan
Bai’ Bithaman Ajil
Dalam
bentuk pembiayaan ini, bank mengikat perjanjian dengan nasabah. Bank
menyediakan dana untuk pembelian sesuatu barang/aset yang dibutuhkan oleh
nasabah guna mendukung usaha atau proyek yang sedang diusahakan.
Namun
begitu, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR syariah hanya dapat
melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
1. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan
dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan
kredit.
3. Menyediakan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Menetapkan
dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat
deposito, dan atau tabungan pada bank lain.
Pembatasan usaha BPR syariah lebih tegas
dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999. Menurut surat
keputusan ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah:
1. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
a. Tabungan
berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
b. Deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
c. Bentuk
lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.
2. Melakukan
penyaluran dana melalui:
a. Transaksi
jual beli berdasarkan prinsip:
1) Murabahah
2) Istishna
3) Ijarah
4) Salam
5) Jual-beli
lainnya.
b. Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan prinsip:
1) Mudharabah
2) Musyarakah
3) Bagi
hasil lainnya.
c. Pembiayaan
lain berdasarkan prinsip:
1) Rahn
2) Qardh
3. Melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR syariah sepanjang disetujui oleh Dewan
Syariah Nasional.
Dibanding bank umum syariah, kegiatan
operasional yang dapat dilakukan BPR syariah lebih terbatas. Sebagaimana diatur
dalam SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999, BPR syariah tidak diijinkan untuk
menerima dana simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dalam
bentuk wadiah. Begitu juga, BPR syariah dilarang untuk:
1. Melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing
2. Melakukan
penyertaan modal
3. Melakukan
usaha perasuransian[6]
C. Ketentuan
dan Tata Cara Pendirian BPR Syariah
1. Syarat
Pendirian
Dalam
mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR syariah yang telah
ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan No. 10 tahun 1998
pasal 2, bentuk hukum suatu BPR syarat dapat berupa:
a. Perseroan
Terbatas
b. Koperasi;
atau
c. Perusahaan
Daerah
Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR
syariah adalah sebagai berikut:
a. BPR
syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dengan ijin Dirreksi Bank Indoneesia.
b. BPR
syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
1) Warga
Negara Indonesia
2) Badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya oleh warga Negara Indonesia
3) Pemerintah
Daerah, dan
4) Dua
pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.
Pendirian ijin pendirian BPR syariah,,
sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan dengan dua tahap:
a. Persetujuan
prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR syariah.
b. Ijin
usaha, yaitu ijin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR syariah
setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan.
SK DIR BI No. 32/36/1999 tidak
memberikan kemugkinan bagi pihak asing untuk mendirikan BPR syariah. Menurut
ketentuan pasal 15 SK DIR tersebut, yang dapat menjadi pemilik BPR syariah
adalah pihak-pihak yang:
a. Tidak
termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Menurut
penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik,
antara lain:
1) Memiliki
akhlak dan moral yang baik.
2) Mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Bersedia
mengembangkan PR syariah yang sehat.
Selain dari persyaratan di atas, khusus
untuk dapat menjadi anggota Dewan Komisaris BPR syariah ditentukan pula bahwa
yang bersangkutan wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang
perbankan. Ketentuan ini tidak mengharuskan yang bersangkutan memiliki
pengetahuan dan atau pengalaman di perbankan syariah. Sedangkan Anggota Direksi
sekurang-kurangnya berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana
Muda.
Menyangkut komposisi Anggota Direksi,
sekurang-kurangnya 50% (limapuluh persen) dari Anggota Direksi BPR syariah
wajib berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau pembiayaan.
Berbeda denngan persyaratan anggota Dewan
Komisaris dalam hal persyaratan bagi Anggota Direksi ditegaskan bahwa yang
bersangkutan harus memiliki pengalaman di bidang perbankan syraiah. Bahkan
ditentukan pengalamannya itu sekrang-kurangnya 2 (dua tahun dan harus di bidang
pendanaan dan atau pembiayaan. Bagi Anggota Direksi yang belum berpengalaman
operasional di bidang perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan
syariah.
Direksi BPR syariah dilarang untuk
merangkap jabatan sebagai Anggota Direksi atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan,
perusahaan atau lembaga lain. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai
tugas Anggaran Direksi yang bersangkutan tidak efektif sebagai anggota Dewan
Komisaris BPR syariah yang bersangkutan, karena terlalu banyaknya melakukan
perangkapan jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris di tempat lain.
Anggota Dewan Komisaris BPR syariah
tidak dilarang merangkap jabatan lain, namun membatasi perangkapan itu
sebagaimana ditentukan dalam pasal 22 ayat (3), yaitu hanya dapat merangkap
jabatan sebagai komisaris sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) BPR syariah. Anggota
Dewan Komisaris BPR syariah tidak dilarang untuk dapat menjadi Anggota Direksi
BPR syariah lainnya.
Dalam hal terjadi penggantian anggota
Dewan komisaris dan atau Direksi BPR syariah, calon pengganti jabatan tersebut
wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki
jabatannya. Demikian juga kalau ada penggantian atau penambahan pemilik BPR
syariah wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
2. Modal
Modal
yang harus disetor untuk mendirikan BPR syariah ditetapkan sekurang-kurangnya
sebesar:
a. Rp2.000.000.000,-
(dua milliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan
Karawang.
b. Rp1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Ibu Kota
Propinsi di luar wilayah seperti tersebut pada butir a di atas.
c. Rp500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di luar wilayah yang
disebut pada butir a dan b di atas.
Modal yang disetor tersebut, digunakan
untuk modal kerja bagi BPR syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50%
(lima puluh persen). Dengan kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian
BPR syariah itu tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor oleh
pendirinya. Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang:
a. Berasal
dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan atau
pihak lain di Indonesia.
b. Berasal
dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk kegiatan-kegiatan
yang melanggar hukum.[7]
D. Organisasi/Manajemen
BPRS
1. Kepengurusan
Menurut
ketentuan pasal 19 SK DIR BI 32/36/1999, kepengurusan BPR syariah terdiri dari
Dewan Komisaris dan Direksi di samping kepengurusan, suatu BPR syariah wajib
pula memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi kegiatan BPR
syariah. Jumlah anggota Dewan Komisaris BPR syariah harus sekurang-kurangnya 1
(satu) orang. Sedangkan direksi BPR syariah sekurang-kurangnya harus berjumlah
2 (dua) orang.
Anggota direksi
dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan:
a. Anggota
Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua, termasuk mertua, anak
termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar, suami/istri.
b. Dewan
Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak, dan suami/istri.
Untuk menjaga konsistensi dan kelangsungan usaha BPR
syariah, ditentukan bahwa:
a. BPR
syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
b. BPR
syariah tidak diperkenankan untuk mengubah kegiatan usahanya menjadi BPR
konvensional.
c. BPR
syariah yang semula memiliki ijin usahanya sebagai BPR konvensional dan telah
memperoleh ijin perubahan kegiatan usaha menjadi berdasarkan prinsip syariah,
tidsk diperkenankan untuk mangubah status menjadi BPR konvensional.
BPR syariah yang telah mendapatkan ijin usaha dari
Direksi Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60
(enampuluh) hari perhitungan sejak tanggal ijin usaha dikeluarkan. Sedangkan
laporan pelaksanaan kegiatan usaha wajib disampaikan oleh Direksi BPR syariah
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
dimulainya kegiatan operasional. Apabila dalam waktu melakukan kegiatan usaha
lebih dari waktu yang telah ditentukan maka Direksi Bank Indonesia membatalkan
ijin usaha yang telah dikeluarkan.
2. Pembukaan
Kantor Cabang
BPR syariah
dapat membuka kantor cabang hanya dalam wilayah propinsi yang sama dengan
kantor pusatnya. Pembukaan kantor cabang BPR syraiah dapat dilakukan hanya
dengan ijin Direksi Bank Indonesia. Rencana pembukaan kantor cabang wajib
dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR syariah.
BPR syriah yang
akan membuka kantor cabang wajib memenuhi persyratan tingkat kesehatan selama
12 (duabelas) bulan terakhir tergolong sehat. Dan dalam pembukaan kantor cabang
BPR syariah wajib menambah modal disetor sekurang-kurangnya sebesar jumlah
untuk mendirikan BPR syariah untuk setiap kantor.[8]
E.
Kendala dan Strategi Pengembangan
BPR Syariah
Dalam
prakteknya BPR syariah mengalami berbagai kendala, kendala tersebut diantaranya
adalah:
1. Kiprah
BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah,
bahkan beberpa pihak menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional. Oleh
karena itu, BPR syriah perlu menegaskan dan meneguhkan identitasnya sebagai BPR
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah.
2. Upaya
untuk meningkatkan profesionalitas kadang terhalang rendahnya sumber daya yang
dimiliki oleh BPR syariah sehingga sehingga profesionalitas kadang terhalang
rendahnya sumber daya yang dimiliki oleh BPR syariah sehingga proses BPR
syariah dalam melakukan aktivitasnya cenderung lambat dan respon terhadap
permasalahan ekonomi rendah. Maka upaya untuk meningkatkan SDM perlu diarahkan
disemua posisi, baik diposisi pemegang kebijakan atau berposisi di lapangan.
3. Kurang
adanya koordinasi di antara BPR syariah, demikian juga dengan bank syariah dan
BMT, sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syiar Islam tentunya
langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang terpadu dapat
dilakukan guna mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan framework
yang bisa dijadikan acuan di antara lembaga keuangan ditingkat kabupaten,
kecamatan, desa ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa
mengesampingkan keberadaan lembaga keuangan lain.
4. Sebagai
lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertanggung jjawab
terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR syariah
tersebut. Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan sering kali tidakk
“menyisakan” waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar
Islam, artinya aktivitad keuangan BPR syariah termasuk syiar Islam di bidang
keuangan, tetapi aktivitas keislaman yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat secara umum perlu juga diperhatikan. BPR syariah perlu memprakarsai
terbentuknya majelis-majelis taklim dan semacamnya.
5. Nama
Bank Perkreditan Rakyat Syariah, masih menyisakan kesan sistem BPR syariah
menggunakan sistem BPR konvensional. Kata “perkreditan” tidak ada dalam
terminology bank dan lembaga kaeuangan syariah. Oleh karenanya, baik kiranya
nama BPR syariah diganti.
Adapun
strategi pengembangan BPR syariah yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut:
1. Langkah-langkah
untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah, bukan saja produknya tetapi
sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui
BPR syariah sendiri dengan menggunakan strategi pemasaran yang halal, seperti;
melalui informasi mengenai BPR syariah di media-media masa. Hal ini yang
ditempuh adalah perlunya kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan atau
non pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR syariah untuk
mensosialisasikan keberadaan BPR syariah.
2. Usaha-usaha
untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan
mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan yang mempengaruhinya. Untuk
itu diperlukan kerjasama di antara BPR syariah atau kerjasama BPR syariah
dengan lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan
syariah atau kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan syariah. Pusat
pendidikan dan shortcourse tersebut memiliki tujuan untuk menyediakan
SDM yang siap kerja di lembaga keungan syariah, khusus BPR syariah.
3. Melalui
pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui berapa besar
kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain dalam mengelola
sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat
kesinambungan kerja di antara BPR syariah, demikian juga kesinambungan kerja
BPR syariah dengan bank syariah dan BMT. Sehingga hal ini akan meningkatkan
koordinasi di antara lembaga keuangan syariah.
4. BPR
syariah bertanggung jawab terhadap masalah keislaman masyarakat dimana BPR
syariah tersebut berada. Maka perlu dilakukan kegiatan rutin keagamaan dengan
tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam dalam bidang ekonomi. Demikian
jga dengan pola ini dapat membantu BPR syariah dalam mengetahui gejala-gejala
ekonomi-sosial yang ada di masyarakat. Hal ini akan menjadikan kebijakan BPR
syariah di bidang keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat (marketable).[9]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. BPR
syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional,
yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.
2. Berdirinya
BPR Syariah di Indonesia selain didasari oleh tuntutan bermuamalah secara Islam
yang merupakan keinginan kuat dari sebagian besar umat Islam di Indonesia, juga
sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang
dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan
secara umum.
3. Status
hukum BPR diakui pertama kali dalam Pakto tanggal 27 Oktober 1988, sebagai
Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan.
4. Tujuan
BPR Syari’ah adalah meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, menambah
lapangan, membina semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi.
5. Dalam
mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR syariah yang telah
ditentukan dalam UU Perbankan.
B. SARAN
Demikian makalah
ini kami susun. Apabila ada kesalahan dalam menyusun makalah kami mohon maaf.
Kritik dan saran sangat kami butuhkan agar kami apat menyusun makalah lebih
baik. Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin
S, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008.
Ahmad
Supriadi, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus, 2008.
Heri
Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi), EKONISIA,
Yogyakarta, 2003.
Warkum
Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMUI
&TAKAFUL) di Indonesia, PT RajaGrafido Persada, Jakarta, 1996.
[1]
Burhanuddin S, Hukum
Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 179.
[2]
Ahmad Supriadi, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hlm. 64.
[3]
Warkum Sumitro, Asas-Asas
Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMUI &TAKAFUL) di Indonesia, PT
RajaGrafido Persada, Jakarta, 1996, hlm. 111.
[4]
Heri Sudarsono, Bank
& Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi), EKONISIA,
Yogyakarta, 2003, hlm. 83-85.
[5]
Warkum Sumitro., Op.Cit.,
hlm. 111-112.
[6]
Heri Sudarsono, Op.Cit.,
hlm.85-88.
[7]
Ahmad Supriadi, Op.Cit.,
hlm. 72-75.
[9]
Heri Sudarsono, Op.,
Cit, hlm. 92-94.
0 Response to "MAKALAH BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH"
Posting Komentar