AKAD POLA SEWA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Farida Rohmah, S.Pd, M.Sc
Disusun Oleh :
1.
Umi
Apriliyani (1420210287)
2.
Didik
Prasetyo (1420210292)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PRODI SYARIAH/ EKONOMI ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sampai saat
ini, mayoritas produk pembiayaan bank syariah masih terfokus pada produk-
produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki
kesamaan dengan pembiayaan ijarah. Keduanya termasuk dalam kategori natural
certainly contracts, dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Yang
membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut.
Dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang,
misalnya rumah, mobil, dan sebagainya.
Sedangkan dalam
pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas
barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Dengan pembiayaan murabahah, bank
syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan
nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijarah,
bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa. Untuk
lebih jelasnya mengenai pembiayaan ijarah, akan kami bahas dalam makalah
ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian sewa dan IMBT?
2.
Bagaimana
landasan syariah tentang sewa?
3.
Bagaimana
aplikasi akad sewa dalam perbankan syariah?
4.
Bagaimana
manfaat dan risiko dari akad sewa?
5.
Bagaimana
pembatalan dan berakhirnya akad pola sewa?
6.
Bagaimana
ketentuan pengembalian objek dalam akad sewa?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sewa dan IMBT
1.
Pengertian
Ijarah atau Sewa
Al- ijarah berasal dari
kata al- ajru yang berarti al- ‘iwadhu (ganti).[1]
Secara syara’ ijarah ialah suatu jenis akad dalam bentuk mengambil
manfaat dengan adanya penggantian.[2]
Dengan kata lain ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau
jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
atas barang itu sendiri. Akad ijarah juga diartikan sebagai “Contract
under wich a bank buys and leases out and asset or equipment require by its
client for rental fee”di mana transaksi bank membeli dan menyewakan asset
atau peralatan yang dibutuhkan nasabah, dan bank mendapatkan jasa persewaan.[3] Dilihat
dari sisi obyeknya, akad ijarah dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Ijarah manfaat
(Al-Ijarah ala al-Manfa’ah), hal ini berhubungan dengan sewa
aset
atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti
tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Misalnya, sewa
menyewa rumah, kendaraan, pakaian dan lain- lain. Dalam hal ini mu’jir mempunyai
benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi
kesepakatan antara keduanya, di mana mu’jir mendapatkan imbalan tertentu
dari musta‟jir dan musta‟jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.
2)
Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-‘Amal), hal ini
berhubungan dengan sewa jasa, yaitu memperkerjakan jasa seseorang dengan upah
sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang memperkerjakan disebut musta’jir,
pihak pekerja disebut ajir, upah yang dibayarkan diebut ujrah.
(Ascarya,2011:99) Artinya, ijarah ini berusaha mempekerjakan seseorang
untuk melakukan sesuatu. Mu’jir adalah orang yang mempunyai keahlian,
tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir adalah pihak yang
membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mu’jir
mendapatkan upah (ujrah) atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta‟jir dan musta‟jir
mendapatkan tenaga atau jasa dari mu‟jir. Misalnya, yang mengikat bersifat pribadi
adalah menggaji seorang pembantu rumah tangga, sedangkan yang bersifat serikat,
yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak.
(Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu).[4]
Sewa atau ijarah dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan,
pada mulanya bukan merupakan bentuk pembiayaan, tetapi merupakan aktivitas
usaha seperti jual- beli. Individu yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli
aset dapat mendatangi pemilik dana (dalam hal ini bank) untuk membiayai
pembelian aset produktif. Pemilik dana kemudian membeli barang dimaksud dan
kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan aset tersebut.
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi
ada beberapa, yaitu :
a)
Pelaku
akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan mu’jir/muajir
(pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset,
b)
Objek
akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa),
dan
c)
Shighah,
yaitu ijab dan qabul.
Dua hal harus diperhatikan dalam penggunaan ijarah sebagai
bentuk pembiayaan. Pertama, beberapa syarat harus dipenuhi agar hukum- hukum
syariah terpenuhi, dan yang pokok adalah :
a)
Jasa
atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus
tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak,
b)
Kepemilikan
aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab atas pemeliharaannya
sehingga aset tersebut terus dapat memberi manfaat kepada penyewa,
c)
Akad
ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan
manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah
masih tetap berlaku, dan
d)
Aset
tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada
saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual, harganya akan ditentukan pada
saat kontrak berakhir.
Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat
keuntungan dengan alasan :
a)
Pemilik
aset tidak mengetahui dengan pasti umur aset yang bersangkutan. Aset hanya akan
memberikan pendapatan pada masa produktifnya. Selain itu, harga aset tidak
diketahui apabila akan dijual pada saat aset tersebut masih produktif.
b)
Pemilik
aset tidak tahu pasti sampai kapan aset tersebut dapat terus disewakan selama
masa produktinya. Pada saat sewa pertama berakhir, pemilik belum tentu langsung
mendapatkan penyewa berikutnya. Apabila sewa diperbaharui, harga sewa mungkin
berubah mengingat kondisi produktivitas aset yang mungkin telah berkurang.
B. Milik
A. Milik 3) Sewa beli
2)
Beli
objek
1)
Pesan
objek sewa
Skema
Ijarah
2.
Pengertian
IMBT
Ijarah muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau
menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan
alih kepemilikan objek sewa.[5]
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Oleh
karenanya pihak yang menyewakan berjanji diawal periode kepada pihak penyewa,
apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibhkannya. Dengan
demikianIMBT memiliki dua jenis :
a)
Ijarah
Muntahi bit Tamlik (IMBT) dengan
janji menghibahkan barang diakhir periode sewa
Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu
dari dua cara berikut ini:
a)
Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa,
b)
Pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibhkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa.[7]
B.
Landasan
Syariah Tentang Sewa
1.
Al- Qur’an
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرُُ
“Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (al- Baqarah : 233)
Yang
menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan
pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang
diberikan berkat kewajiban membayar upah secara patut. Dalam hal ini termasuk
di dalamnya jasa penyewaan atau leasing.
2.
Al-
Hadits
a.
Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim
Artinya
: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Berbekamlah
kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”.
b.
Hadits
Riwayat Ibnu Majah
Artinya
: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering”.[8]
C.
Aplikasi
Sewa dalam Perbankan Syariah
Bank Islam
dengan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating
lease (sewa yang tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset, baik diawal
maupun di akhir periode) maupun finance lease (sewa diakhir periode si
penyewa diberi pilihan untuk membeli atau tidak barang yang disewakan). Akan
tetapi pada umunya bank- bank lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahi bit
Tamlik (IMBT).
Contoh 1. Ijarah
:
Bapak Ahmad
hendak menyewa sebuah ruang perkantoran di sebuah gedung selama satu tahun
mulai dari tanggal satu Januari 2012 sampai dengan 1 Januari 2013. Pemilik
gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai dimuka sebesar Rp 100.000.000.
Dengan pola tersebut, Bapak Ahmad tidak memungkinkan. Bapak Ahmad dapat
membayar sewa per bulan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Bapak Ahmad
mengajukan pembiayaan tersebut ke Bank Syariah dengan menyampaikan kebutuhan
dana dan kondisi keuangannya. Dengan analisa yang dilakukan oleh Bank Syariah,
Bank Syariah meminta Required rate of profit Bank sebesar (20%).
Harga sewa 1 tahun (tunai di muka) : Rp 100.000.000
|
Required
rate of profit Bank
(20%) : Rp 20.000.000
|
Harga
sewa kepada nasabah : Rp 120.000.000
|
Periode
pembiayaan :
12 bulan
|
Angsuran
nasabah/ bulan : Rp
10.000.000
|
Contoh 2. IMBT
Ibu Sholihah
memiliki usaha dibidang Perdagangan pecah belah. Dengan semakin majunya usaha
ibu Sholihah, maka Ibu Sholihah memerlukan mobil untuk kegiatan operasional
tokonya. Ibu Sholihah memerlukan mobil pada periode 1 April 2013 dengan cara
menyewa selama 1 tahun kemudian dan membelinya diakhir masa penyewaan yaitu 31
Maret 2014. Penjual mobil menginginkan pola pembayaran sewa tunai dimuka
sebesar Rp 70.000.000 dan Rp 110.000.000, diakhir masa sewa untuk dapat
memiliki mobil tersebut. Bila mobil tersebut dijual tunai, harganya Rp
160.000.000. Dengan pembayaran di atas, Ibu Sholihah tidak memungkinkan untuk
membayar, oleh karenanya Ibu Sholihah mendatangi Bank Syariah untuk mengajukan
pembiayaan. Berdasar analisa bank dan melihat kondisi keuangan Ibu Sholihah,
Bank Syariah menginginkan persentase keuntungan sebesar 20 % dari pembiayaan
tersebut.
Harga mobil secara tunai : Rp 160.000.000
|
Required
rate of profit Bank
(20%) : Rp 32.000.000
|
Harga
sewa kepada nasabah : Rp
192.000.000
|
Periode pembiayaan :
12 bulan
|
Angsuran nasabah/ bulan : Rp 16.000.000
|
Pembelian ruko mobil di akhir : Rp 192.000.000
Masa sewa sebesar
|
D.
Manfaat
dan Risiko Dari Akad Sewa
Manfaat dari
transaksi al- ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya
uang pokok.
Risiko yang
mungkin terjadi dalam al- ijarah adalah :
1.
Default
: nasabah tidak membayar cicilan
dengan sengaja
2.
Aset
ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama
bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh Bank
3.
Berhenti
: nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.
Akibatnya bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian
kepada nasabah.[9]
E.
Pembatalan
dan Berakhirnya Sewa- Menyewa
Pada dasarnya
perjanjian sewa- menyewa merupakan perjanjian yang lazim, masing- masing pihak
yang terikat dalam perjanjian tidak berhak membatalkan perjanjian karena
termasuk perjanjian timbal balik.
Bahkan, jika salah
satu pihak (yang menyewa atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa-
menyewa tidak akan menjadi batal, asal yang menjadi objek perjanjian sewa-
menyewa masih ada. Sebab, dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh ahli waris.
Demikian juga
halnya dengan penjualan objek perjanjian sewa- menyewa yang tidak menyebabkan
putusnya perjanjian yang diadakan sebelumnya.
Meskipun
demikian, tidak tertutup kemungkinan pembatalan perjanjian oleh salah satu
pihak jika ada alasan/ dasar yang kuat.
Adapun hal- hal
yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa- menyewa adalah disebabkan hal- hal
sebagai berikut :
1.
Terjadinya
aib pada barang sewaan,
2.
Rusaknya
barang yang disewakan,
3.
Rusaknya
barang yang diupahkan,
4.
Terpenuhinya
manfaat yang diakadkan, dan
5.
Penganut
mazhab Hanafi menambahkannya dengan uzur.
F.
Pengembalian
Objek Sewa- Menyewa
Apabila masa
yang telah diterapkan dalam perjanjian telah berakhir, maka penyewa berkewajban
untuk mengembalikan barang yang disewanya kepada pemilik semula (yang
menyewakan).
Adapun
ketentuan pengembalian barang objek sewa- menyewa adalah :
1.
Apabila
barang yang menjadi objek perjanjian merupakan barang bergerak maka penyewa
harus mengembalikan barang itu kepada yang menyewakan atau pemilik dengan
menyerahkan langsung bendanya. Misalnya, sewa- menyewa kendaraan.
2.
Apabila
objek sewa- menyewa dikualifikasikan sebagai barang tidak bergerak maka penyewa
wajib mengembalikannya kepada pihak yang menyewakan dalam keadaan kosong.
Maksudnya, tidak ada harta pihak penyewa di dalamnya. Misalnya, dalam
perjanjian sewa- menyewa rumah.
3.
Apabila
yang menjadi objek perjanjian sewa- menyewa adalah barang yang berwujud tanah
maka penyewa wajib menyerahkan tanah kepada pemilik dalam keadaan tidak ada
tanaman penyewa di atasnya.
Dapat
ditambahkan bahwa menurut mazhab Hambali, “Manakala ijarah telah berakhir,
penyewa harus mengangkat tangannya, dan tidak ada kemestian untuk mengembalikan
atau menyerahterimakannya, seperti barang titipan karena ia merupakan akad yang
tidak menuntut jaminan sehingga tidak mesti mengembalikan dan
menyerahterimakannya.”
Pendapat mazhab
Hambali di atas, dapat diterima, sebab dengan berakhirnya jangka waktu yang
ditentukan dalam perjanjian sewa- menyewa, maka dengan sendirinya perjanjian
sewa- menyewa yang telah diikat sebelumnya telah berakhir. Dengan demikian,
tidak diperlukan lagi suatu perbuatan hukum untuk memutuskan hubungan sewa-
menyewa. Dengan terlewatinya jangka waktu yang diperjanjikan, otomatis hak
untuk menikmati kemanfaatan atas benda itu kembali kepada pihak pemilik (yang
menyewakan).[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijarah adalah
akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Sedangkan
Ijarah muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual
atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri
dengan alih kepemilikan objek sewa.
Landasan Syariah tentang ijarah terdapat dalam Al- Qur’an Surah Al-
Baqarah ayat 233, Hadits Riwayat Bukhari Muslim, dan Hadits Riwayat Ibnu Majah.
Bank Islam dengan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik
dalam bentuk operating lease (sewa yang tidak terjadi pemindahan
kepemilikan aset, baik diawal maupun di akhir periode) maupun finance lease (sewa
diakhir periode si penyewa diberi pilihan untuk membeli atau tidak barang yang
disewakan).
Manfaat dari
transaksi al- ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya
uang pokok. Risiko yang mungkin terjadi dalam al- ijarah adalah :
default, berhenti dan aset ijarah rusak.
Jika salah satu
pihak (yang menyewa atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa- menyewa
tidak akan menjadi batal, asal yang menjadi objek perjanjian sewa- menyewa
masih ada. Sebab, dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh ahli waris.
Adapun hal- hal
yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa- menyewa adalah disebabkan hal- hal
sebagai berikut : terjadinya aib pada barang sewaan, rusaknya barang yang
disewakan, rusaknya barang yang diupahkan, terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
dan penganut mazhab Hanafi menambahkannya dengan uzur.
Adapun
ketentuan pengembalian barang objek sewa- menyewa adalah : apabila barang yang
menjadi objek perjanjian merupakan barang bergerak, apabila objek sewa- menyewa
dikualifikasikan sebagai barang tidak bergerak, dan apabila yang menjadi objek
perjanjian sewa- menyewa adalah barang yang berwujud tanah.
B.
Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan, oleh
sebab itu kami minta kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013.
Binti Nur Asiyah, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Teras,
Yogayakarta, 2014.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta,
2003.
Laili Nur Amalia, Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Penerapan Akad
Ijarah Pada Bisnis Jasa Laundry (Studi Kasus Di Desa KedungrejoKecamatan Muncar),
STAIDU Banyuwangi, Economic: Jurnal Ekonomi
dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2, 2015.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema
Insani, Jakarta, 2001.
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam
Perspektif Fikih Ekonomi, Fajar
Media Press, Yogyakarta, 2012.
[1] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta,
2003, hlm. 66.
[2] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam
Perspektif Fikih Ekonomi, Fajar
Media Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 182.
[4] Laili Nur Amalia, Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap
Penerapan Akad Ijarah Pada Bisnis Jasa Laundry (Studi Kasus Di Desa
KedungrejoKecamatan Muncar), STAIDU Banyuwangi , Economic: Jurnal Ekonomi
dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2, 2015, hlm. 5.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 149.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema
Insani, Jakarta, 2001, hlm. 117- 118.
[10] Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 160- 162.
AKAD POLA SEWA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Farida Rohmah, S.Pd, M.Sc
Disusun Oleh :
1.
Umi
Apriliyani (1420210287)
2.
Didik
Prasetyo (1420210292)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PRODI SYARIAH/ EKONOMI ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sampai saat
ini, mayoritas produk pembiayaan bank syariah masih terfokus pada produk-
produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki
kesamaan dengan pembiayaan ijarah. Keduanya termasuk dalam kategori natural
certainly contracts, dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Yang
membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut.
Dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang,
misalnya rumah, mobil, dan sebagainya.
Sedangkan dalam
pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas
barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Dengan pembiayaan murabahah, bank
syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan
nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijarah,
bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa. Untuk
lebih jelasnya mengenai pembiayaan ijarah, akan kami bahas dalam makalah
ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian sewa dan IMBT?
2.
Bagaimana
landasan syariah tentang sewa?
3.
Bagaimana
aplikasi akad sewa dalam perbankan syariah?
4.
Bagaimana
manfaat dan risiko dari akad sewa?
5.
Bagaimana
pembatalan dan berakhirnya akad pola sewa?
6.
Bagaimana
ketentuan pengembalian objek dalam akad sewa?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sewa dan IMBT
1.
Pengertian
Ijarah atau Sewa
Al- ijarah berasal dari
kata al- ajru yang berarti al- ‘iwadhu (ganti).[1]
Secara syara’ ijarah ialah suatu jenis akad dalam bentuk mengambil
manfaat dengan adanya penggantian.[2]
Dengan kata lain ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau
jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
atas barang itu sendiri. Akad ijarah juga diartikan sebagai “Contract
under wich a bank buys and leases out and asset or equipment require by its
client for rental fee”di mana transaksi bank membeli dan menyewakan asset
atau peralatan yang dibutuhkan nasabah, dan bank mendapatkan jasa persewaan.[3] Dilihat
dari sisi obyeknya, akad ijarah dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Ijarah manfaat
(Al-Ijarah ala al-Manfa’ah), hal ini berhubungan dengan sewa
aset
atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti
tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Misalnya, sewa
menyewa rumah, kendaraan, pakaian dan lain- lain. Dalam hal ini mu’jir mempunyai
benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi
kesepakatan antara keduanya, di mana mu’jir mendapatkan imbalan tertentu
dari musta‟jir dan musta‟jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.
2)
Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-‘Amal), hal ini
berhubungan dengan sewa jasa, yaitu memperkerjakan jasa seseorang dengan upah
sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang memperkerjakan disebut musta’jir,
pihak pekerja disebut ajir, upah yang dibayarkan diebut ujrah.
(Ascarya,2011:99) Artinya, ijarah ini berusaha mempekerjakan seseorang
untuk melakukan sesuatu. Mu’jir adalah orang yang mempunyai keahlian,
tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir adalah pihak yang
membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mu’jir
mendapatkan upah (ujrah) atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta‟jir dan musta‟jir
mendapatkan tenaga atau jasa dari mu‟jir. Misalnya, yang mengikat bersifat pribadi
adalah menggaji seorang pembantu rumah tangga, sedangkan yang bersifat serikat,
yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak.
(Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu).[4]
Sewa atau ijarah dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan,
pada mulanya bukan merupakan bentuk pembiayaan, tetapi merupakan aktivitas
usaha seperti jual- beli. Individu yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli
aset dapat mendatangi pemilik dana (dalam hal ini bank) untuk membiayai
pembelian aset produktif. Pemilik dana kemudian membeli barang dimaksud dan
kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan aset tersebut.
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi
ada beberapa, yaitu :
a)
Pelaku
akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan mu’jir/muajir
(pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset,
b)
Objek
akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa),
dan
c)
Shighah,
yaitu ijab dan qabul.
Dua hal harus diperhatikan dalam penggunaan ijarah sebagai
bentuk pembiayaan. Pertama, beberapa syarat harus dipenuhi agar hukum- hukum
syariah terpenuhi, dan yang pokok adalah :
a)
Jasa
atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus
tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak,
b)
Kepemilikan
aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab atas pemeliharaannya
sehingga aset tersebut terus dapat memberi manfaat kepada penyewa,
c)
Akad
ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan
manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah
masih tetap berlaku, dan
d)
Aset
tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada
saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual, harganya akan ditentukan pada
saat kontrak berakhir.
Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat
keuntungan dengan alasan :
a)
Pemilik
aset tidak mengetahui dengan pasti umur aset yang bersangkutan. Aset hanya akan
memberikan pendapatan pada masa produktifnya. Selain itu, harga aset tidak
diketahui apabila akan dijual pada saat aset tersebut masih produktif.
b)
Pemilik
aset tidak tahu pasti sampai kapan aset tersebut dapat terus disewakan selama
masa produktinya. Pada saat sewa pertama berakhir, pemilik belum tentu langsung
mendapatkan penyewa berikutnya. Apabila sewa diperbaharui, harga sewa mungkin
berubah mengingat kondisi produktivitas aset yang mungkin telah berkurang.
B. Milik
A. Milik 3) Sewa beli
2)
Beli
objek
1)
Pesan
objek sewa
Skema
Ijarah
2.
Pengertian
IMBT
Ijarah muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau
menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan
alih kepemilikan objek sewa.[5]
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Oleh
karenanya pihak yang menyewakan berjanji diawal periode kepada pihak penyewa,
apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibhkannya. Dengan
demikianIMBT memiliki dua jenis :
a)
Ijarah
Muntahi bit Tamlik (IMBT) dengan
janji menghibahkan barang diakhir periode sewa
Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu
dari dua cara berikut ini:
a)
Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa,
b)
Pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibhkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa.[7]
B.
Landasan
Syariah Tentang Sewa
1.
Al- Qur’an
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرُُ
“Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (al- Baqarah : 233)
Yang
menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan
pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang
diberikan berkat kewajiban membayar upah secara patut. Dalam hal ini termasuk
di dalamnya jasa penyewaan atau leasing.
2.
Al-
Hadits
a.
Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim
Artinya
: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Berbekamlah
kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”.
b.
Hadits
Riwayat Ibnu Majah
Artinya
: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering”.[8]
C.
Aplikasi
Sewa dalam Perbankan Syariah
Bank Islam
dengan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating
lease (sewa yang tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset, baik diawal
maupun di akhir periode) maupun finance lease (sewa diakhir periode si
penyewa diberi pilihan untuk membeli atau tidak barang yang disewakan). Akan
tetapi pada umunya bank- bank lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahi bit
Tamlik (IMBT).
Contoh 1. Ijarah
:
Bapak Ahmad
hendak menyewa sebuah ruang perkantoran di sebuah gedung selama satu tahun
mulai dari tanggal satu Januari 2012 sampai dengan 1 Januari 2013. Pemilik
gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai dimuka sebesar Rp 100.000.000.
Dengan pola tersebut, Bapak Ahmad tidak memungkinkan. Bapak Ahmad dapat
membayar sewa per bulan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Bapak Ahmad
mengajukan pembiayaan tersebut ke Bank Syariah dengan menyampaikan kebutuhan
dana dan kondisi keuangannya. Dengan analisa yang dilakukan oleh Bank Syariah,
Bank Syariah meminta Required rate of profit Bank sebesar (20%).
Harga sewa 1 tahun (tunai di muka) : Rp 100.000.000
|
Required
rate of profit Bank
(20%) : Rp 20.000.000
|
Harga
sewa kepada nasabah : Rp 120.000.000
|
Periode
pembiayaan :
12 bulan
|
Angsuran
nasabah/ bulan : Rp
10.000.000
|
Contoh 2. IMBT
Ibu Sholihah
memiliki usaha dibidang Perdagangan pecah belah. Dengan semakin majunya usaha
ibu Sholihah, maka Ibu Sholihah memerlukan mobil untuk kegiatan operasional
tokonya. Ibu Sholihah memerlukan mobil pada periode 1 April 2013 dengan cara
menyewa selama 1 tahun kemudian dan membelinya diakhir masa penyewaan yaitu 31
Maret 2014. Penjual mobil menginginkan pola pembayaran sewa tunai dimuka
sebesar Rp 70.000.000 dan Rp 110.000.000, diakhir masa sewa untuk dapat
memiliki mobil tersebut. Bila mobil tersebut dijual tunai, harganya Rp
160.000.000. Dengan pembayaran di atas, Ibu Sholihah tidak memungkinkan untuk
membayar, oleh karenanya Ibu Sholihah mendatangi Bank Syariah untuk mengajukan
pembiayaan. Berdasar analisa bank dan melihat kondisi keuangan Ibu Sholihah,
Bank Syariah menginginkan persentase keuntungan sebesar 20 % dari pembiayaan
tersebut.
Harga mobil secara tunai : Rp 160.000.000
|
Required
rate of profit Bank
(20%) : Rp 32.000.000
|
Harga
sewa kepada nasabah : Rp
192.000.000
|
Periode pembiayaan :
12 bulan
|
Angsuran nasabah/ bulan : Rp 16.000.000
|
Pembelian ruko mobil di akhir : Rp 192.000.000
Masa sewa sebesar
|
D.
Manfaat
dan Risiko Dari Akad Sewa
Manfaat dari
transaksi al- ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya
uang pokok.
Risiko yang
mungkin terjadi dalam al- ijarah adalah :
1.
Default
: nasabah tidak membayar cicilan
dengan sengaja
2.
Aset
ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama
bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh Bank
3.
Berhenti
: nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.
Akibatnya bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian
kepada nasabah.[9]
E.
Pembatalan
dan Berakhirnya Sewa- Menyewa
Pada dasarnya
perjanjian sewa- menyewa merupakan perjanjian yang lazim, masing- masing pihak
yang terikat dalam perjanjian tidak berhak membatalkan perjanjian karena
termasuk perjanjian timbal balik.
Bahkan, jika salah
satu pihak (yang menyewa atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa-
menyewa tidak akan menjadi batal, asal yang menjadi objek perjanjian sewa-
menyewa masih ada. Sebab, dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh ahli waris.
Demikian juga
halnya dengan penjualan objek perjanjian sewa- menyewa yang tidak menyebabkan
putusnya perjanjian yang diadakan sebelumnya.
Meskipun
demikian, tidak tertutup kemungkinan pembatalan perjanjian oleh salah satu
pihak jika ada alasan/ dasar yang kuat.
Adapun hal- hal
yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa- menyewa adalah disebabkan hal- hal
sebagai berikut :
1.
Terjadinya
aib pada barang sewaan,
2.
Rusaknya
barang yang disewakan,
3.
Rusaknya
barang yang diupahkan,
4.
Terpenuhinya
manfaat yang diakadkan, dan
5.
Penganut
mazhab Hanafi menambahkannya dengan uzur.
F.
Pengembalian
Objek Sewa- Menyewa
Apabila masa
yang telah diterapkan dalam perjanjian telah berakhir, maka penyewa berkewajban
untuk mengembalikan barang yang disewanya kepada pemilik semula (yang
menyewakan).
Adapun
ketentuan pengembalian barang objek sewa- menyewa adalah :
1.
Apabila
barang yang menjadi objek perjanjian merupakan barang bergerak maka penyewa
harus mengembalikan barang itu kepada yang menyewakan atau pemilik dengan
menyerahkan langsung bendanya. Misalnya, sewa- menyewa kendaraan.
2.
Apabila
objek sewa- menyewa dikualifikasikan sebagai barang tidak bergerak maka penyewa
wajib mengembalikannya kepada pihak yang menyewakan dalam keadaan kosong.
Maksudnya, tidak ada harta pihak penyewa di dalamnya. Misalnya, dalam
perjanjian sewa- menyewa rumah.
3.
Apabila
yang menjadi objek perjanjian sewa- menyewa adalah barang yang berwujud tanah
maka penyewa wajib menyerahkan tanah kepada pemilik dalam keadaan tidak ada
tanaman penyewa di atasnya.
Dapat
ditambahkan bahwa menurut mazhab Hambali, “Manakala ijarah telah berakhir,
penyewa harus mengangkat tangannya, dan tidak ada kemestian untuk mengembalikan
atau menyerahterimakannya, seperti barang titipan karena ia merupakan akad yang
tidak menuntut jaminan sehingga tidak mesti mengembalikan dan
menyerahterimakannya.”
Pendapat mazhab
Hambali di atas, dapat diterima, sebab dengan berakhirnya jangka waktu yang
ditentukan dalam perjanjian sewa- menyewa, maka dengan sendirinya perjanjian
sewa- menyewa yang telah diikat sebelumnya telah berakhir. Dengan demikian,
tidak diperlukan lagi suatu perbuatan hukum untuk memutuskan hubungan sewa-
menyewa. Dengan terlewatinya jangka waktu yang diperjanjikan, otomatis hak
untuk menikmati kemanfaatan atas benda itu kembali kepada pihak pemilik (yang
menyewakan).[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijarah adalah
akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Sedangkan
Ijarah muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual
atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri
dengan alih kepemilikan objek sewa.
Landasan Syariah tentang ijarah terdapat dalam Al- Qur’an Surah Al-
Baqarah ayat 233, Hadits Riwayat Bukhari Muslim, dan Hadits Riwayat Ibnu Majah.
Bank Islam dengan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik
dalam bentuk operating lease (sewa yang tidak terjadi pemindahan
kepemilikan aset, baik diawal maupun di akhir periode) maupun finance lease (sewa
diakhir periode si penyewa diberi pilihan untuk membeli atau tidak barang yang
disewakan).
Manfaat dari
transaksi al- ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya
uang pokok. Risiko yang mungkin terjadi dalam al- ijarah adalah :
default, berhenti dan aset ijarah rusak.
Jika salah satu
pihak (yang menyewa atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa- menyewa
tidak akan menjadi batal, asal yang menjadi objek perjanjian sewa- menyewa
masih ada. Sebab, dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh ahli waris.
Adapun hal- hal
yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa- menyewa adalah disebabkan hal- hal
sebagai berikut : terjadinya aib pada barang sewaan, rusaknya barang yang
disewakan, rusaknya barang yang diupahkan, terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
dan penganut mazhab Hanafi menambahkannya dengan uzur.
Adapun
ketentuan pengembalian barang objek sewa- menyewa adalah : apabila barang yang
menjadi objek perjanjian merupakan barang bergerak, apabila objek sewa- menyewa
dikualifikasikan sebagai barang tidak bergerak, dan apabila yang menjadi objek
perjanjian sewa- menyewa adalah barang yang berwujud tanah.
B.
Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan, oleh
sebab itu kami minta kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013.
Binti Nur Asiyah, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Teras,
Yogayakarta, 2014.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta,
2003.
Laili Nur Amalia, Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Penerapan Akad
Ijarah Pada Bisnis Jasa Laundry (Studi Kasus Di Desa KedungrejoKecamatan Muncar),
STAIDU Banyuwangi, Economic: Jurnal Ekonomi
dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2, 2015.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema
Insani, Jakarta, 2001.
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam
Perspektif Fikih Ekonomi, Fajar
Media Press, Yogyakarta, 2012.
[1] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta,
2003, hlm. 66.
[2] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam
Perspektif Fikih Ekonomi, Fajar
Media Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 182.
[4] Laili Nur Amalia, Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap
Penerapan Akad Ijarah Pada Bisnis Jasa Laundry (Studi Kasus Di Desa
KedungrejoKecamatan Muncar), STAIDU Banyuwangi , Economic: Jurnal Ekonomi
dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2, 2015, hlm. 5.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 149.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema
Insani, Jakarta, 2001, hlm. 117- 118.
[10] Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 160- 162.
0 Response to "MAKALAH AKAD POLA SEWA"
Posting Komentar